10 NOVEMBER YANG LALU
15 November 2011 pukul 9:40
Jakarta, sebuah kota dengan kompleksivitas masalah kaum urban, dari transportasi, profesi hingga urbanisasi. Jakarta dengan segudang cerita dan akrobatiknya memberi kita arti hidup zaman modernisme berbalut pragmatisme.
Tepat 10 November yang lalu, beberapa kota
memperingati hari pahlawan, bendera berkibar di kantor-kantor
pemerintahan dari pusat hingga pelosok negeri. Tetapi pagi itu saya
tidak menyangka dan tidak begitu peduli bahwa 10 November menjadi hari
yang bersejarah bagi beberapa elemen bangsa ini. Mungkin juga bukan
hanya saya, tetapi mereka yang ada di kolong jembatan, di pinggiran
kali, hingga mereka yang bermewah-mewahan di kantor pemerintahan, BUMN,
maupun dikantor PMA yang berdiri angkuh menjulang tinggi di pusat kota
Jakarta.
Pagi itu saya duduk tepat di sebelah kaca, bis penumpang yang saban hari selalu mengalami over kapasitas dan melaju begitu pelan, saya tidak tahu mengapa bis ini terus mengalami over kasitas, apakah karena armada yang kurang, atau karena penumpang yang rata-rata pekerja kelas menengah kebawah yang terlalu banyak ?. ini masih tanda tanya yang belum bisa saya uraikan dalam bentuk kalkulasi statistik kependudukan.
Tepat
berada di bundaran HI, seorang bapak yang duduk tertidur disebelahku
tiba-tiba saja terbangun, jika dilihat dari penampilanya mungkin dia
seorang pekerja di sebuah perusahaan swasta kepunyaan warga asing, tanpa
ragu dengan nada kesal dia mengerutu, kira-kira begini ucapanya”alaaah
ngapain sich ini orang, buat jalanan macet aja”. Sontak saya
kaget,”kenapa ya bapak ini ngomong begitu, bukankan Jakarta memang kota
macet..!” ujarku dalam hati. Namun sebagai responku atas ucapan sang
bapak, saya memcoba mengarahkan mata keluar jendela kaca, mencoba
mencari dan memastikan siapakah yang bapak maksud yang buat jalanan
menjadi macet.
Tak lama berselang, mataku tertuju pada
kerumunan manusia,mereka rata-rata kaum muda, mereka membawa poster,
spanduk dan bebera atribut lainnya. Mereka sedang menggelar demostrasi
dengan berbagai tuntutan. Setelah saya perhatikan ternyata mereka sedang
asyik memperingati Hari Pahlawan dengan cara mereka sendiri, tampak
diantara kerumunan massa beberapa teman-temanku dulu semasa kuliah.
Sejenak situasi dan pemandangan pagi itu membawaku dalam lamunan
romantisme demostran 5 tahun yang lalu. Ingatanku pada masa-masa
demostrasi itu membuatku menaruh sedikit tidak suka terhadap sikap si
bapak yang duduk di sebelahku. Karena saya bayangkan 5 tahun yang lalu
pasti banyak orang yang bersikap seperti bapak ini ketika saya memimpin
demostrasi kala itu.
Setelah berselang 15 menit, kenangan
manis nan heroik di kepalaku malah berakhir dengan beberapa pertanyaan
dalam hati. ”kenapa ya, mereka masih saja demonstrasi seperti sedia
kala, apakah memang itu sudah profesi mereka ? padahal diantara mereka
ada yang sudah menikah, memiliki anak dan mungkin juga sudah sekolah”.
Apakah demostrasi merupakan profesi di Jakarta yang bisa menghasilkan
uang ?” atau jangan-jangan mereka berdemostrasi untuk kepentingan elit
tertentu.!
Wahh..Jika memang demikian wajar saja si bapak di sebelahku
menggerutu.! Maaf pak saya terlanjur tidak suka atas sikapmu, tapi biar
bagaimanpun elit politik negeri ini yang jadi biang kemacetan itu,
mungkin mereka hanya mengais sedikit rejeki dengan moment hari pahlawan
ini, atau jangan-jangan mereka juga sudah jadi peliharaan elit
tertentu.! "Walaupun ga bisa dibenarkan tetapi alangkah lebih baik dan
bijak jika kita marah sama elit negeri ini saja pak" ujarku pelan..!
Jakarta, 14 November 2011
Juson Ali’eha Pande
Post a Comment