20 KM, MANUSIA DALAM PLASTIK
9 Januari 2013 pukul 12:27
Judul ini bukanlah sebuah kata yang terinspirasi dari maraknya film 5 cm, di tengah gelombang dan geliat film nasional besukan sineas-sineas muda tanah air. Hanyalah sebuah kenytaan ditengah hilangnya manusia dari dirinya sendiri. Rabu di awal bulan tahun 2013, tahun masehi yang baru seminggu yang lalu dirayakan dengan meriah di seluruh pelosok dunia. Entah itu karena rasa syukur, tradisi ataupun factor religi yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat, yang pasti banyak cara bagi mereka untuk tahun dengan angka baru itu.
Tidak terkeculai saya, Happy New Year itu
saya terima dengan peluk hangat yang special, sepanjang ingatan saya,
hal itulah yang pertama saya alami cara mengapresiasi atas tahun baru.
Padahal secara umum saya selama ini hanya mengucap rasa terima kasih dan
kagum pada manusia yang lahir dan menghitung tahun dari 0 Masehi dahulu
kala. Sejatinya tidak ada yang berbeda dari hitungan tahun-tahun yang
lalu, thanks untuk pelukanya, itu awal yang indah di tahun ini.
Kembali ke 20 km, sejak malam tiba, rindu mataku menatap meriah
bintang di cerah langit Jakarta, masih beban hidup yang terus tumbuh di
tengah cuaca yang murka. Kabut hitam serasa amat dekat di kepala,
mengikuti kemanapun langkah terkayuh.
Sesekali gelegar petir menyambar
mata dengan kecepatan cahaya menembus gelap malam, akhirnya hujanpun
turun dengan deras, membasahi 3 pot bunga kesayangan mantan pacarku yang
tumbuh subur di teras rumah malam itu. Hingga mata terpejam, hujan
tidak menuggu untuk saya bangkit dengan fajar penuh cerah yang hangat,
sampai alarm pertanda aktivitas perbudakan akan segera dimulai, air
hujan terus membasahi apapun yang ada dimuka bumi, pertanda hujan tidak
berhenti walau otak dan jiwaku berhenti tadi malam.
Pagi ini, melangkah di tengah hujan rasanya sesuatu yang amat
terpaksa, dipaksa oleh system kerja yang tidak kenal hujan, badai bahkan
rasa malas. Diatas genang-genang air hitam kecoklatan, sederet roda dua
bejalan dengan kecepatan rendah, 20 km/h, sebuah petunjuk rata-rata
yang terpampang di speedometer kendaraan.
Diantara deretan itu, mata ku
tertuju pada manusia-manusia dalam plastic, wanita dengan dada yang amat
membusung, akibat tas sandangnya di sembuyikan diantara jaket hujan
plastiknya guna menghindar dari terpaan air hujan, beberapa lelaki yang
tampak hamil dengan punggung membusung akibat ransel tas kerjanya
terbungkus oleh jaket hujanya, bahkan seorang wanita hamil dengan tubuh
yang tambun dalam plastik putih menghindar dari guyuran air hujan menuju
pusat aktivitas harianya. 20 km/jam, manusia palstik berjalan ditengah
deraian air hujan, dipaksa oleh system kerja yang kejam, di tengah
kekejaman itu pula, banyak juga yang menikmatinya dengan pelukan rapat
dingin sepasang kekasih di tengah badai, itu pertanda bahwa hujan tidak
bisa di generalisasi sebagai bencana, karena di sana terselib kemesraan
yang konyol penuh kenikmatan yang romantic.
Dalam kecepatan 20 km/h, dingin gemercik kibasan air hujan di atas
aspal, membasahi hingga ujung jemari kakiku, melumpuhkan metabolism
tubuhku, menembus kulit pucat hitam hingga keriput kedinginan tergambar
jelas di ujung-ujung jemariku. Sembari menikmati rupa-rupa dan gaya
deretan manusia dalam plastic, Sesekali aku teringat dengan seorang
sohib manisku yang juga berkendara dengan roda dua, sembari bertanya ke
sebuah jaket hujan plastic yang menempel di sekujur tubuhku.
Dalam hati
aku bertanya”hey jaket badman, kamu milik siapa ?, koq kamu tidak
melindungi tuanmu dari terpaan badai,?” “Hey jaket badman, aku sunguh
enggan sekali untuk menggunakanmu, sebab apa jadinya jika aku tidak
basah berkat jasamu dan tuanmu kutemukan dalam keadaan basah kuyub ?.”
Dengan penuh keyakinan semua pertanyaan itu kejawab dengan pasrah,
“sudahlah, mau apa lagi, dari pada kita basah berdua, lebih baik basah
satu bukan, dan kuyakin kalaupun dia basah, dia pasti basah dengan
romantic bersama kekasihnya yang setia menghadapi badai bahkan hujan
batu sekalipun.
Walau ada sedikit rasa bersalah, berbalut dingin pagi
itu menusuk hingga ke tulang, aku tetap yakin, yang terjadi biarlah
kehangatan di tengah kedinginan hari ini, dan permohonan maafku akan ku
sampaikan dengan senyum dan penyerahan petaka plastik anti hujan itu
kelak, dan kita berharap senyum hangat hadir di tengah dingin cuaca
petang nanti. Wassalam !
Jakarta, 09 Januari 2013
Juson Ali’eha
Post a Comment