AKU TIDAK BISA MENANGIS

8 November 2013 pukul 11:06
Ahhh…sudahlah, aku harus kembali ke pacar keduaku, pacar tulis menulis yang menjadi nafas ide-ide gilaku, pacar tulis-menulis yang akan mebangkitkan libido sastra dan imajiku. Pacar pesona kebangkitan realitas kebebasanku. Dan, Jumat 08 November 2013, resmi aku ikrarkan kembali rasa kecewa atas realitas. Untuk rasa prihatin dan kekecewaan yang paling dalam itu pula, memaksaku kembali ke facebook yang saya blokir beberapa minggu yang lalu. Sungguh aku tidak tahan, harus berbagi cerita dalam catatan dengan sekelumit masalah dalam realitas yang serampangan.

Oret-oret ini, sejatinya hendak membongkar sekaligus berkeinginan memusnahkan peradaban universitas yang fungsi sosailnya sering dipuji muluk-muluk. Tradisi sosial yang konon merupakan harmoni untuk mengatasi unsur-unsurnya yang bertentangan dalam masyarakat, unsur-unsur ketidak pastian akan masa depan, unsur-unsur satus sosial di tengah kemapanan. Tetapi sesungguhnya merupakan dunia semu, dunia pura-pura, yang di dalamnya tumbuh subur praktek manipulasi dan ketidakadilan yang merajalela.

Sepertinya, aku tidak bisa menagis melihat ketidakwajaran ini menjadi kebenaran, tidak pula peluh sedih bagaikan awan hitam menjelang hujan bersarang di kelopak mataku. Dan aku tidak seperti wanita yang kehilangan keperawanan di usia yang masih belia, dihantui rasa bersalah yang paling dalam. Tapi aku hanya mahluk yang konyol, bertengkar dingin dengan keadaan yang kasar, culas dan tidak perduli lagi antara kata dan perbuatan.

Baiklah, aku harus bertengkar dengan senjata tuch-tuch keyboard di depan mataku, menyusun kata membangun kalimat, membangun kalimat menyampaikan makna, menyampaikan makna menentang keadaan, menentang keadaan mengukir sejarah. Sejarah kelam status dan peradaban modern di tengah sistem yang lengah.

Baiklah, dari sini dimulai, dua minggu yang lalu, seorang pria tampan datang bersama sahabatnya, menunjukkan wajahnya di sepinya suasana, dia datang bersama mentari menjelang tenggelam. Wajahnya bersinar, berbicara layaknya golongan priyai pemimpin masa depan kesultanan.

Terang saja, ternyata dia seorang pejabat, datang dari kota kecil di sisi kota megapolitan, seorang birokrat yang tersandung masalah, masalah kesarjanaan yang diperoleh dari kawin lari dengan tuan besar, tuan pemilik status pendidik yang amat tinggi.

Dari bibirnya yang manis, terurai kata menunjukkan mentalitas culasnya. Namun tetap saja tergambar terang di wajah dan nadanya, rasa tak kuasa kala hukum telah mengintai diri dan jabatannya. Sepertinya begitulah potret umum mentalitas para birokrat kala tersandung masalah hukum.

Sebenarnya oretan ini, bukan hanya ingin mencemooh mentalitas birokrat yang culas, bukan pula menghukum orang-orang yang menghindarkan diri dari tanggung jawab sosialnya dan menikmati kebudayaannya yang selalu dipuji, dengan mendzalimi dan menghinakan sesama manusia, menvonis orang-orang di sekitanya dengan keangkuhan intelektualits yang paling dangkal. Tetapi aku ingin mencoba menggambarkan sisi lain perselingkuhan universitas dengan birokrasi yang penuh kesewenang-wenangan, tak berperasaan, menabrak aturan-aturan yang dibuatnya sendiri.

Beberapa hari yang lalu, dari kejauhan, sepertinya facebook telah menolong orang-orang yang berperkara untuk mengarahkan senjatanya ke hadapanku, mengarahkan kuasanya ke dalam pikiran dan batinku. Mendesak dan mengurung pikiran dan semangatku, dengan senjata undang-udang produk rezim anti kritik, produk rezim anti demokrasi.

Namun nuraniku berkata, “Sudahlah, itu tidak wajar dalam tradisi universitas, tidak pula wajar dalam tradisi ilmiah, apalagi dalam tradisi intelektualitas” Meskipun aku harus terbunuh oleh senjatamu, terhujam pedang undang-undang itu, tetapi saya akan tetap menjadi pemuda yang percaya akan hukum-hukum dialektika, yang bisa berperang dengan kata membangun makna, dan tentu saja aku tidak akan menagis karenanya.

Jakarta, 08 November 2013
 
Juson Alieha Pande

Tidak ada komentar