BUKAN BASA-BASI POLITIK, SURAT UNTUK SAHABAT

3 Desember 2012 pukul 10:24

Bukan basa-basi politik, begitulah judul tulisan reflektif ini saya buat, tentu ini bukan merupakan surat yang pertama, dan menurut saya inilah sumbangsih saya, atapun bentuk partisifasi kolektif saya dalam Pendidikan Politik XIII FM di Sibolangit. Sekali lagi tulisan ini bukan bermaksud untuk memberika provokasi atau sebuah kalimat yang mengandung nilai apolitis. Namun berangkat dari serangkaian proses social-ekonomi dan politik yang terus mengiringi kehidupan dan dinamika pergerakan kita. Bagaikan detak jarum jam yang tidak pernah berhenti, menembus batas waktu siang dan malam.

Ditengah putaran dan detak-detik kenyataan, berbagai proses teoritis dan praksis terus berjalan. Sering sekali hidup kita mengalami perubahan-perubahan radikal bahkan sikap kompromistis tidak terhindarkan, dalam memposiskan sikap kritis yang telah tertanam sejak memahami teori-teori politik dan perubahan social 2 hingga spuluh tahun yang lalu. Berdasarkan refleksi personal, ada beberapa hal dominan sebagai penyebab sikap yang terus berubah ditengah pertumbuhan dan proses dialektika kehidupan masing-masing.

Pertama; Serangkaian pemahaman kita akan teori–teori radikal hingga relevansi teori dalam menjalankan relasi social ditengah-tengah kehidupan sehari-hari. Dalam setiap momentum proses, barang kali kita tidak pernah lupa akan teori Marxis hingga tokoh-tokoh sezamanya. Berbekal teori Das Kapital, Nilai Lebih, hingga berbagai varian yang muncul belakangan.

Sebut saja Antonio Gramsci, Leninis, Stalinis, Maois hingga tokoh-tokoh PKI di Indonesia. Topik-topik merah ini selalu menjadi sajian diskusi thematis dalam setiap agenda-agenda idiologisasi kader kader organisasi kita. Namun jika tidak ada bahasa yang tepat dan lebih santun untuk semua out put dari proses edukasi ini, saya akan meberikan terminology bahwa hasil dari proses ini hanya menjadikan “gerombolan sampah teoritisi yang tidak memiliki pengakuan Akademis yang mumpuni”.

Saya bukan bermaksud dan berusaha untuk menposisikan semua proses idiologiasi itu menjadi tidak berguna, namun mencoba membaca dari belakang bahwa impian kita untuk membangun sebuah komunitas yang teridiologisasi hanya akan menjadi beban sejarah jangka panjang yang mungkin akan dilihat oleh generasi yang akan dating, terlebih jika kita tidak mampu membentuk alternative strategi taktik untuk yang lebih longgar dan relevan dalam setiap tindakan.

Kedua; Minimnya laboratorium praksis dalam koteks menguji berbagai hipotesa yang muncul dari serangkaian diskusi thematis itu sendiri. “Like and Dislike” untuk menguji hipotesa yang menjadi kesimpulan dari pencarian dan proses pemahaman akan teori adalah praksis atas realitas sosial. Maka kemapuan kita untuk menciptakan laboratorium praktek perlawanan dari teori tersebut sangat penting dan harus, terutama dalam menginterpretasikan seluruh kebijakan politik organisasi dalam segmen social yang kita bangun sebagai posisi yang paling memungkinkan untuk dilakukan.

Artinya paling tidak, kita pernah mencoba mendekatkan hipotesa tersebut dalam kenyataan social. Layak untuk dipertanyakan dan dijadikan starting point dalam melakukan penyusunan dan evaluasi kurikulum Pendidikan Politik Organisasi kedepan. Misalnya, sudah pernahkah kita melihat dan melakukan study sosiologis yang kita katakan Petani Tertindas itu, atau nelayan yang terampas kedaulatanya akan laut itu, buruh yang sering kita sebut diperas itu atau bahkan kaum miskin kota yang menjadi korban kebijakan politik kekuasaan yang pro kapitalisme itu ?

Menurut saya, ini sangat penting dan harus kita jawab bersama. Karena selama ini ada hal-hal yang luput dari methodology kita dalam memahami suatu hal. Misalnya tidak ada kontradiksi tanpa materi, atau bahkan sebaliknya tidak ada materi tanpa kontradiksi. Jika jawaban kita bahwa belum pernah melakukan serangkaian study sosiologis akan semua basis sectoral tersebut atau salah satu diantaranya dan kemudian kita merasa/berkesimpulan bahwa sudah memahami relevansi terori dimaksud tanpa pernah melakukan praktek, bagi saya sikap seperti ini sama saja sikap memahami suatu hal dengan “Kaca Mata Kuda”. Inilah efek terbesar dari proses kita yang sangat minim keterlibatan dalam Laboratorium Sosial.

Ketiga ; Sikap sering sekali bergaya seperti fasisme dalam membangun semangat dan pengidentifikasian akan sejarah kerja pergerakan diantara kita. Memang harus diakui masing-masing kader mengalami proses starting dan waktu yang berbeda beda untuk terjun dalam dunia politik pergerakan.

Sikap fasisme yang saya sebut disini adalah sikap upaya untuk menekan dan membangkitkan semangat teman yang lain dengan berupaya meberikan kebenaran “romantisme masa lalu” menjadi kebenaran mutlak tanpa ada pertimbangan relevansi realitas sejarah masa lalu atas situasi dan kondisi kekinian. Sikap seperti ini sering sekali menjadi dasar untuk menjatuhkan justifikasi terhadap yang lain.

Akibat sikap yang sedikit fasis dan anti dialektis inilah salah satu penyebab meningkatnya sikap ketidakpercaya dirian bagi teman-teman yang masih berusaha untuk menguji buah pemikiran tentang satu hal, umunya bagi yang baru berproses. Jika dimungkinkan hendaknya sikap-sikap ingin mencoba dan sedikit konsultatif ini harus terus dibakar dengan semangat yang tepat.

Jangan mencoba memberikan analisis atau kesimpulan akhir yang belum tahu apakan yang akan dilakukan seorang kader akan berakhir dengan benar atau salah. Tetapi biarkan praktek atau aksi langsung yang dia lakukan menjadikan pemahaman yang sangat berharga untuk dirinya dan komunitas. Artinya bahasa yang mungkin sudah basi ini akan menjadi relevan”biarkan pengalaman yang akan menguji dia, karena pengalaman adalah sebuah proses pendidikan yang paling berharga”.

Ke empat ; Pergulakan pemikiran yang terus berjalan diantara  generasi yang mengalami proses transisi, baik transisi politik maupun transisi identitas. Sehingga mempengaruhi kualitas masing-masing kader. Salah satu yang paling mudah kita analisa adalah setelah mengalami fase study selesai dan akan berakhir dengan identitas kemahasiswaan.

Disinilah fase yang sangat penting yang akan terus mengalami pergulakan, kemampuan untuk menghadapi realitas yang masih dibayang-banyangi sikap-sikap mahasiswa dalam berfikir dan bertindak. Proses dan fase ini saya sebut sebagai pergulakan pemikiran transisional. Disatu sisi proses survive harus terus berjalan, disisi lain tekanan moral dari lingkungan dan keluarga semakin lama-semakin tidak terbendung. Maka konstruksi berfikir yang telah terbangun selama 5-10 tahun dalam kelompok akan terus mengalami kontradiksi yang lahir dari diri sendiri, hingga mengalami perubahan dan kompromitas atas sikap-sikap dan perubahan-perubahan social itu sendiri.

Ke lima; Belum terjadinya konsolidasi idiologis yang berangkat dari prespektif bersama. Sebenarnya dalam beberapa kesempatan banyak diskudi-diskusi non formal atas sikap reflektif ini. Saya berpendapat selama ini kita hanya merasa pernah “melawan atau melakukan perlawanan”. Kemudian setelah terjadi proses yang ke empat kita berkembang menjadi spora-spora politik yang berkembang secara alamiah, melakukan pilihan-pilihan alternative secara personal dengan harapan dapat survive.

Tanpa ada orientasi bersama, cinta-cita ekonomi dan politik bersama. Dalam konteks ini, saya juga berpendapat kita tidak harus berkumpul dan menumpuk bagai “taik”. Tapi bagaimana membangun relasi dalam orientasi ekonomi dan politk bersama. Bukan semata-mata pernyataan persamaan cita-cita dan basa-basi politik dengan argumentasi bahwa apa yang dilaukan oleh setiap kader adalah satu tujuan bersama.

Bagai saya argumentasi ini hanya akan menjadi harapan kosong karena sampai sekarang kita belum berhasil atau bahkan belum sama sekali menyusun formulasi kelangsungan kelompok atau komunitas dalam orientasi jangka panjang, artinya tidak ada bukti factual yang bisa dijadikan sebagai indicator kebersamaan itu.

Maka, walaupun sudah mengalami berbagai proses pergeseran, kompromi dan tidak dimungkinkan akan menjadi sikap apolitis, tetapi kita masih menyisakan suatu bangunan materil dari komunitas dengan personal-personal yang sangat potensial untuk berkembang menjadi kekuatan kedepan. Yang saya maksud disini adalah masih terbangunya komunitas dan konsepsi cultural yang sampai sekarang, seperti pendidikan politik XIII, artinya sejarah kita sudah melebihi periodisasi kekuasaa Kerjaan Sisingamangaraja. Mereka sangat pantas mendapat apresiasi atas upaya membangun organisasi dalam situasi sulit saat ini.

Saya pasti bisa membayangkan dengan sangat yakin, bahwa kamis-minggu / 06-09 Desember 2012, seluruh peserta akan mengalami pendidikan pemahaman atas realitas kota, kontradiksi social masyarakat perkotaaan, pemecahan mitos, hingga pemahaman sejarah perlawanan, yang dapat dipastikan melahirkan kembali pemikiran baru, semangat baru, dan totalitas akan dunia pergerakan. Hendaknya energy itu tidak hanya berhenti pada 2,3,6 bulan kedepan, diperlukan sebuah media kongkrit yang dapat di jadikan sebgai laboratorium praktek perlawaan yang tidak dicekokin hanya dengan teoritis semata.

Dari kelima penjabaran diatas dan tetap berpegang pada dasar dan thema tulisan ini, saya mau menyampikan sebuah gagasan sederhana. Dan tidak semata-mata basa-basi atas nama kebersamaan, cita-cita kedepan atau apapun itu. Yang akan saya sampikan adalah bersumber dari situasi bahwa beberapa diantara kita seolah-olah tidak menyisakan bekas sediktpun atas semua proses kerja pergerakan, politik gerakan dan politik organisasi yang kita bangun sejak pendirian komuniats.

Oleh karena itu, jika masih dimungkinkan langkah yang paling sederhana yang harus kita lakukan adalah “kembali ke diri”. Kembali Kediri yang saya maksud adalah mari mengajukan pertanyaan kepada diri kita sendiri. Diantara pertanyaan yang harus kita jawab sendiri itu adalah 1. Pernahkah kita secara pribadi mengingat dan menyadari bahwa “kita pernah lahir dari sebuah komunitas” dengan gagasan bersama yang kita sebut Formadas.? 2. Pernahkah kita secara pribadi mengalami keresahan atas kondisi kita saat ini.? 3. Pernahkah kita memahami bahwa diri kita sendiri “meninggalkan bekas” yang sampai kini belum kita tinjau atau lihat kembali ? 4. Pernahkah kita berfikir sendiri bahwa ada beberapa teman-teman kita yang masih konsisten dan butuh dukungan dan harapan kongkrit untuk membangun Formadas ? 5. Pernahkah kita bekeinginan untuk melakukan sesuatu untuk Formadas tanpa harus melakukan tekanan dan sikap meyalahkan terhadap kekurangan teman yang lain ? dan 6. Pernahkah kita berfikir secara pribadi bahwa yang akan membangun Formadas itu dan menjadikanya banguna permanent adalah kita sendiri.?

Jika beberapa pertanyaan ini dapat kita jawab dengan jujur dalam diri kita sendiri berarti kita akan memberi kesimpulan “saatnya kembali ke jantung dan rahim yang melahirkan kita” yakni Formadas Medan.  Saya yakin dia menunggu kita kembali tanpa harus meninggalkan apa yang sudah berkembang secara alamiah diantara kita. Dan semua ini “kembali ke diri” kita sendiri.

Mohon maaf, tulisan ini kembali saya buat sebagai tulisan terbuka karena menurut saya, jika kita ingin kembali membuka ruang dialogis atas sejarah dan proses politik fm, saatnya kita terbuka atas ruang Kritik Oto Kritik atas sejarah panjang fm, yang akan memandu kita untuk menempatkan semua kritik dan saran menjadi bahan konsrtuktif guna mengembalikan segala seuatu yang hilang dari situasi personal kita masing-masing.

Hasta La Victoria Siempre..!


Jakarta, 03 Desember 2012
M. Juson Ali'eha, ST, Amf

Tidak ada komentar