DARI TIMUR KISAH INI DIMULAI

14 Juni 2014 pukul 15:43
Juson J. Simbolon*
Sejauh mata memandang, aku tidak mampu melihat silaunya lampu kota yang menyala di sudut-sudut peradaban yang modern. Kadang aku bergumul akan semua janji, yang tertanam dalam hidup, secercah harapan membentang di pusat keragu-ragun yang makin lama-makin menipis, dikikis erosi jiwa saat-saat bersamanya di setiap kesempatan, menghabiskan petang, menikmati malam, hingga diburu waktu menjelang adjan, kadang diprotes oleh nada-nada dering telepon genggam, pertanda waktu sudah menjelang dalam.
Malam itu, tepatnya di Timur Ibu Kota, kisah ini bermula dengan manis penuh tanya. Aku hanya bicara dengan nada yang hampir pasti, sebuah situasi akan romansa yang hadir dari keberanian yang subjektif namun hakiki. Aku menoreh ke wajahnya yang manis, membawa hasrat cinta ingin mengecup keningnya dibawah sinar gemerlap lampu jalanan, disaksikan dasboard roda empat teman setianya bepergian.  

Tanpa malu, tanpa ragu, setelah beberapa detik canda kami mengiringi malam, lembut kecup bibirku berlabuh di kening, persis diatas bintik merah pertanda lahirnya. Seketika hati’ku terayuh, tersentak oleh kata tanya yang hadir dari bibirnya yang tipis. “kenapa kamu cium aku” tanyanya dengan nada dan mimik wajah penuh ragu. Hati dan pikiranku, yang tidak siap dengan jawaban sedikit tersengang, sedikit merasa malu, karena aku sangat kawatir pertanyaan itu adalah wujud amarah dari hatinya yang dalam.

Meskipun demikian, aku menjawab seolah menyembunyikan perasaan cinta yang ada dalam jiwaku, dengan nada pelan penuh yakin, “karena aku ingin mencium kamu”. Dengan jawabanku yang sedikit sederhana, aku menanti sikapnya seolah diguyur dinginnya lelehan salju, merasa beku, kaku, “akankan amarah menghapiri kekuatan cinta yang hadir malam ini?” Aku sungguh bertanya dalam hati kecil’ku.

Hingga waktu mengejar gelap, kami harus berpisah ditengah manisnya situasi cinta. Saat itu, aku belum terbiasa dengan sandi panggil mewakili kata hati diantara dua sejoli, dan aku masih terbiasa dengan panggilan Bu, sebuah singkatan dari panggilan Ibu untuk teman wanita sejawat, di lingkungan para arogansi lelaki yang penuh keangkuhan dan kemunafikan. Di penghujung pisah malam kecupan pertama, seperti ini saya berucap “hati-hati di jalan ya bu ....... !” kata ini mewakili perasaan dan kekawatiranku akan perjalanan jauh menembus malam.

Setelah mobilnya melaju perlahan, tak mampu kupandangi dia berlalu sendirian di tengah ganasnya malam tanpa bintang, tanpa rembulan, hanya rintik-rintik kecil berselimut kabut malam. Aku begitu kawatir, walau aku tau dia pasti ditemani nada-nada kesukaanya, tapi tetap saja hatiku merasa dia sepi sendiri, aku ingin pergi menemaninnya di sepanjang gelap malam, tapi aku sadar jarak dan waktu telah merenggut waktu sisa malam itu. Aku hanya berharap sebuah kabar datang menenangkan jiwaku yang latah penuh kawatir, kabar dia telah sampai di peristirahatan bersama pemiliknya.

“Adakah engkau telah tiba sayank”, begitu hatiku bertanya sendirian, seolah dia tepat berada di hadapan hidung dan keningku. “atau adakah engkau telah tiba ke pangkuan pemilikmu?”, sembari menghela nafas, mengusap wajah’ku, aku bertanya dalam hati penuh cemburu berteman gelisah.

Tak terasa, sebuah pesan datang menghapiri mata dan mulutku, lampu signal merah berkedip mengajak jemariku untuk segera mengelus si hitam dikantong celanaku, aku tau sebuh pesan darinya telah tiba, pertanda kekawatiranku akan berakhir menjelang malam istirahat tiba.

Riang wajah dan hatiku seketika tersentak, serasa dihardik oleh petir di tengah siang terik. Membaca pesan menyakitkan dari ujung kota kecil sebelah Timur Ibu Kota. Pesan yang penuh ragu itu seolah menegasikan seluruh rangkain kisah indah dari timur yang manis.

“Aku telah sampai di rumah, mohon maaf atas kejadian tadi, tolong lupakan aku, aku sangat menyesal dengan kejadian itu, semua telah berlalu, anggap saja tidak pernah terjadi, ini memang sudah terlambat, walau pedih aku harus pilih keputusan ini.” Itu isi pesan yang menyakitkan itu, tanpa penjelasan yang rinci, saya bertanya penuh sesak di hati, “ada masalah apa bu” tanyaku penuh curiga.

Nada tak pasti penuh ragu menjawab pesan singkat di ponsel’ku, “aku takut dipermainkan, aku tidak seperti wanita lain” begitu keraguan itu menjadi jawaban atas permintaan berakhir, walau kisah itu masih seperti putik kembang yang belum mekar.

Aku sadar, bahwa jawaban itu, pertanda laki-laki sangat sulit dipercaya, “ataukah karena ada kisah dia yang menyakitkan sebelumnya?” Aku tak tau pasti, aku hanya menjelaskan bahwa, aku bukan lelaki yang pandai mempermainkan wanita, pandai berpura-pura dan bukan pula lelaki berbakat menjajal cinta yang di jajakan kepada siapa saja, apalagi di jalanan kapan saja.

Meski aku tak kuasa menahan rasa kesal di dada, atas tuduhan tak berdasar, aku tetap saja optimis membawa asa, bahwa cinta bukan soal kata-kata, bukan pula soal keputusan singkat semata, tapi dia akan menyala, seiring waktu yang selalu bersama, bersama dalam pengertian dan perhatian yang nyata.

Jakarta, 26 Mei 2014
* Penulis adalah :
   Pengangum Cinta Dan Kebebasan

Tidak ada komentar