FRUSTASI ALA KRISTEN

9 Oktober 2013 pukul 18:01
Minggu pagi di sebuh gedung tua, perbincangan hangat menanti misa dimulai. Di teras gedung, sekumpulan orang bercengkrama dengan senyum kebahagiaan, sungguh hari yang indah penuh makna. Baju batik, blazer dan jas dipadu dasi menghiasi tubuh para jemaat, pemandangan yang lazim ditengah hidup kekristenan komunitas metropolitan saat akhir pekan tiba.
Di sela-sela rium senyum dan tawa para jemaat, seorang pendeta datang menyapa dengan ucapan”selamat hari minggu”, dengan ramah para jemaat yang bersuka cita menjawab “selamat hari minggu pak”

Waktu sebelum misa dimulai masih lumayan panjang. Hal itu biasa, sebab orang-orang akan datang lebih cepat, karena perjalanan mereka tidak dihabiskan oleh kemacetan, beda jika hari kerja, orang akan banyak terlambat ke sebuah acara, jika tidak berangkat dari rumah saat ayam baru berkokok.

Pak pendeta yang sudah lama melayani dalam komunutas itu, ternyata sadar bercengkrama dengan jemaat adalah kesempatan yang cukup penting. Waktu yang cukup baik pula untuk mengerti apa yang menjadi pikiran jemaat, apa yang menjadi pergumulan jemaat.

Saat itu, topic yang hangat dan menjadi perhatian kebanyakan jemaat adalah persoalan pembongkaran gereja, persoalan ijin gereja dan persoalan-persoalan penolakan akan rencana kebutuhan rohani agama minoritas di tengah berbangsa yang mengakui bhineka tunggal ika.

Akhirnya tiba saat perbincangan serius, seorang warga bertanya kepada pak pendeta, demikian bunyinya” Pak pendeta, bagaimana pendapata bapak dengan berita-berita tentang konflik agama di Negara ini? Pak pendeta menjawab “itulah pergumulan kita saat ini” Jawaban itu begitu singkat, dan hampir tidak memiliki makna yang kongkrti atas masalah yang terjadi, lantas jemaat yang bertanya terdiam sejenak.

Tidak lama berselang, jemaat kembali bertanya”sebenarnya apanya masalah utama sehingga begitu besar persoalan pendirian gereja ini, termasuk gereja kita yang hingga kini terus menumpang, atau menyewa tempat yang kecil ini, padahal kita sering kekurangan kursi jika waktu-waktu ibadah tertentu?” Sepertinya bapak pendeta butuh waktu untuk menjelaskan detail masalah yang menimpa gereja dan umatnya.

Namun, dengan singkat pak pendeta kembali menjawab, “masalahnya izinnya susah keluar” Belum lama berselang jemaat kembali bertanya,”apa kira-kira yang buat susah izinya pak, bukankah mendirikan rumah ibadah seperti mendrikan bangunan lain, misalnya hanya IMB saja”  Pak pendeta menjawab “kalau untuk bangunan sama, tetapi sebelum itu ada tahapan-tahapan lain yang diatur dalam peraturan pemerintah. Setelah bangunan, ada lagi ijin rumah ibadah” begitu pak pendeta menjelaskan dengan penuh kesabaran.

Setelah panjang cerita, ternyata jemaat sudah lama ingin mengerti apa yang terjadi dengan gerejanya, kenapa sudah berpuluh-puluh tahun harus menyewa gedung untuk beribadah, kenapa tidak kunjung tiba waktunya semua aktivitas jemaat terpusat di gereja. Maka dengan nada penasaran, Jemaat kembali bertanya kepada pak pendeta, “hal-hal apa saja yang menjadi kendala utama pendirian gereja pak pendeta, khususnya gereja kita?” Dengan mimik penuh pelayanan, pak pendeta menjawab “masalah yang sering menjadi persolan adalah akibat Surat Peraturan Bersama atau SPB No 8 dan 9/2006, tentang pendirian rumah ibadah itu.” Jawab pak pendeta dengan serius.

Lanjut pak pendeta, “SKB tersebut mengatur persyaratan pendirian rumah ibadah dengan salah satu syarat harus mendapatkan persetujuan minimal 60 orang warga sekitar, agar bisa mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB)”

Dengan jawaban itu, Jemaat yang penasaran akan maksud salah satu pasal tersebut berusaha mengemukakan pendapat, dengan mengajukan pernyataan “dengan tandatangan 60 orang, bukankah itu persoalan yang sangat sederhana pak pendeta” Lantas pak pendeta menjawab dengan penuh keteduhan, “memang, dalam masyarakat yang terbuka dan toleran, meminta 100 atau 500 tanda tangan mungkin bukan persoalan susah. Tetapi, kenyataan di tengah masyarakat yang diliputi kecurigaan, prasangka, dan kebencian, jangankan 60 tanda tangan, meminta 5 tanda tangan saja sangat sulit, hal ini yang terjadi selama ini dalam rencana pembanguan gereja kita, mungkin juga gereja lain. Beberapa alasan yang sering dikemukakan warga yang menolak pendirian gereja adalah takut ada kristenisasi, takut menimbulkan ketidak nyamanan warga, dan sebagainya.” Terang pendeta panjang lebar.

Setelah waktu medekati misa dimulai, jemaat yang bingun terus mengerutkan kening, pertanda hatinya sedang putus asa atas jawaban pak pendeta. Meskipun hati dan pikirannya berfokus pada jawaban terakhir pak pendeta, Jemaat berujar ”jadi kalu tanda tangan itu ga ada sampai kapanpun, kita tetap numpang di gedung ini ya pak pendeta, kenapa pemerintah buat aturan itu ya, bukankah keberagaman agama dan toleransi selalu diucapkan sebagai landasan kita bernegara?”

Sembari bersiap-siap naik tangga, pak pendeta menjawab, “itulah yang saya bilang sebagai pergumulan kita, itu masalah serius yang akan dihadapai oleh agama minoritas di Negara ini, semua usaha sudah kita lakukan, pendekatan persuasive, pendekatan melalui pemerintah setempat, tapi tetap saja tanda tangan itu susah, dan sudah terlanjur SKB menteri itu dibuat sebagai syarat mutlak pendirian gereja di negara ini, maka secara logika sudah tidak ada lagi yang bisa kita lakukan. Jalan satu-satunya kita harus beraktivitas di gedung ini, sambil berdoa terus menerus agar kita dapat ijin untuk mendirikan gereja, kita doakan pemerintah agar sehat-sehat dalam menjalankan tugasnya, kita sehat juga dan kita terus berharap agar datang keajaiban, walau entah kapan. Tidak ada lagi jalan lain, hanya itulah yang bisa kita lalukan”

Jakarta 09 Oktober 2013
Juson J. Simbolon 

Tidak ada komentar