JOKOWI, RELAWAN DAN PERDEBATAN
26 Agustus 2013 pukul 19:02
Juson J. Simbolon, ST *
“Anda
relawan Jokowi For Presiden? Berfikir dong bro, Jokowi itu baru tiga
bulan jadi Gubernur DKI, artinya belum terukur kinerjannya untuk
dijadikan alasan dia layak jadi Presiden RI 2014”, inilah perdebatan
diskusi penulis beberapa hari yang lalu dengan seorang teman di salah
satu diskusi online.
Walau penulis mengemukakan
faktor-faktor historis yang membuat penulis bersedia jadi relawan Jokowi
for Presiden 2014, namun tampaknya beberapa argumntasi yang penulis
kemukakan tidak dapat diterima dengan rasionalitas yang dialektis oleh
seorang teman di dalam diskusi online tersebut.
Meskipun
penulis kurang sependapat dengan apa yang dia sampaikan, tetapi dalam
prinsip-prinsip berpendapat hal demikian menjadi lumrah setelah membaca
sebuah pernyataan seorang sastrawan sekaligus Filsuf Prancis
Voltaire, dimana dia berpendapat "Saya tidak setuju apa yang kau bilang, tetapi akan saya bela mati-matian hakmu untuk mengucapkan itu". prinsip ini menjadi penting untuk membangaun peradaban modern.
Merefleksikan
kejadian dan sikap ini, sepertinya para relawan Jokowi membutuhkan
dasar-dasar argumentasi yang sahih, sebagai landasan dalam setiap
kesempatan. Dalam kenyataan sehari-hari ada banyak pertanyaan,
pernyataan yang kadang tidak mewakili kepentingan mayoritas, tentu saja
hal demikian lumrah dalam bermasyarakat yang mengedepankan sikap dan
pikiran terbuka.
Menjadi relawan Jokowi tentu saja tidak
harus memiliki kriteria khusus, layaknya seleksi PNS, tidak pula harus
memiliki dasar analisa yang mumpuni seperti para penghuni kampus dengan
segudang prestasi penelitian. Dalam politik, fanatisme tanpa dasar juga
sah-sah saja sebagai landasan bagi seseorang menjadi relawan dalam
suksesi kekuasaan. Tetapi menurut penulis, menjadi relawan tentu saja
bertindak menjadi duta yang mampu menjelaskan akan kinerja, sosok dan
beberapa alasan-alasan popular maupun tidak popular dari seseorang yang
didukung.
Maka kali ini, sebagai orang yang menjunjung
tinggi dialog sebagai hukum dialektika menuju perubahan, tentu saja
harus berpendapat dengan argumntasi yang tidak hanya bersumber dari
persoalan-persoalan popular khususnya di tingkat media massa. Salah satu
yang terpenting adalah bagaimana kita menempatkan dasar-dasar pemahaman
yang bisa dielaborasi menjadi pemahaman kolektif dalam bertindak dan
berpendapat.
Baik, sebagai pembuka, penulis ingin
menyampaikan beberapa alasan-alasan yang telah penulis uraikan dalam
diskusi online beberapa hari lalu. Menjawab pertanyaan “kenapa bung
harus menjadi relawan Jokowi for Presiden 2014 dan apa untungnya bagi
bung juga Negara ini?”
Sebagai pertanyaan yang sangat
propokatif sekaligus agitatif, tentu saja memancing sikap reaksioner
penulis dengan pendapat yang mungkin sedikit meninggi dalam intonasi,
jika diperhadapkan dalam situasi diskusi terbuka.
Pertanyaan
satu kalimat dengan tiga jawaban tersebut terlebih dahulu penulis bedah
menjadi tiga kategori jawaban. Pertama soal siapa Jokowi menurut
penulis, kedua apa untungnya jika dia presiden 2014 buat penulis dan
ketiga apa untungnya buat Negara ini.
Sebagai jawaban
pertama dalam penggalan pertanyaan diatas, penulis ingin menjelaskan
siapa Jokowi sebenarnya, tentu saja menurut versi yang penulis pahami.
Pertama,
Jokowi bukanlah anak seseorang Gurubesar Ekonomi Pembangunan, sekaligus
menteri dalam dua rezim yang berbeda. Bukan pula anak seorang tokoh
bangsa yang telah berhasil mempopulerkan teori ekonomi pembanguan,
ketergantungan (dependancie), pola pembangunan berkelanjutan (sustainable development model)
hingga teori ekonomi pembanguan dengan pendekatan sosial-budaya, serta
strukturalisme yang memperkokoh doktrin orde baru dengan peryataan “demi
pembangunan”
Bukan pula seseorang yang terkenal hanya
karena warisan kejayaan dinasti kekuasaan di masa lalu, atau sosok yang
dengan gagah berani menjadi komandan pasukan khsuus dalam berbagai
operasi pemberantasan-pembantaian kaum sebangsannya. Bukan pula sosok
yang sangat berpengaruh dalam kejayaan masa kegelapan politik
militeristik-otoritarian orde baru, dengan menjadi bagian keluarga
(menatu) sang penguasa, meskipun telah sirnah seiring dengan berakhirnya
masa politik pembungkaman yang diterapkan oleh rezim fasistik.
Jokowi
tentu saja bukan sosok warganegara yang tidak bertanggungjawab, dengan
melarikan diri ke luar negeri akibat dugaan atas pelanggaran HAM diamasa
Operasi Mawar. Operasi yang tersohor guna mempertahankan rezim sang
penguasa yang sudah dimakan oleh keniscayaan dialektika sejarah dan
perjuanagn bangsa ini. Dan Jokowi tidak pula seperti tokoh kunci yang
selalu dikait-kaitkan dengan kasus yang tidak memiliki keputus hukum dan
politik tersebut, yang dapat dijadikan pelajaran bagi perjalan
demokrasi dan bangsa ini di masa depan.
Juga Jokowi bukan
seorang warga Negara yang berambisi bahkan amat gila jadi presiden
dengan sokongan dana milyaran dalam mendirikan partai politik sendiri,
akibat ketidakmampuannya menunjukkan dedikasi dalam partai lama warisan
orba yang terus menguning. Medirikan partai politik dengan jargon
nasionalisasi yang hingga kini belum terlihat secara nyata oleh
partainnya apa dan bagaiman nasionalisasi itu dijalankan. Justeru
kenyataan mengindikasikan mendirikan partai semata-mata untuk membangaun
kendaraan politik demi ambisi kekuasaan.
Kedua, Jokowi
bukan wargan Negara yang pernah menduduki jabatan tertinggi di Tubuh
ABRI/TNI negeri ini. Yang berhasil membangun pondasi–pondasi milisi
berkarakter premanisme sebagai manifestasi dari mobilisasi sipil
bersenjata dan preman yang tergabung dalam Pasukan Pengamanan Masyarakat
Swakarsa (Pam Swakarsa) Pasukan ini dibentuk guna membendung aksi
mahasiswa sekaligus mendukung Sidang Istimewa MPR (SI MPR) tahun 1998.
Jokowi lagi-lagi tentu saja tidak seperti tokoh yang bersikeras untuk
mempertahankan eksistensi pasukan swasta tersebut, yang kini menjamur
sampai pedesaan khusunya daerah-daerah perkebunan. Keberadaannya menjadi
ancaman serius terhadap perjuangan hak-hak Ekosob rakyat dalam berbagai
persolan.
Salah satunya adalah persolan kompleks
"menahun" yang terus terjadi di Sumatera Utara, yaitu masalah konflik
Tanah dengan PTPN II, hampir diseluruh areal konflik Agraria khususnya
masalah perampasan tanah dimasa politik pembangunanisme, Pam Swakarsa
bertindak sebagai garda terdepan dalam menghadang perjuangan kaum tani.
Tidak segan-segan menggunakan kekerasan dengan senjata tajam membunuh
tokoh-tokoh gerakan rakyat.
Parahnya sesama milisi (pam
swakarsa) dengan ormas-ormas lain binaan militer, dalam perebutan lahan
sering menjadi teror menakutkan di berbagai daerah. Kenyataan demikain
tidak saja terjadi didaerah pedesaan, di kota-kota besar saat ini juga
praktek kekerasan sipil dengan kedok agama menjadi pemandangan
sehari-hari yang hampir menjadi absurditas bernegara. Mungkin kita boleh
melihat latar belakang, tokoh-tokoh kunci dari ormas tersebut mulai
berdiri hingga saat ini, dan apa kaitannya dengan siapa.
Lagi-lagi
perlu dikemukakan Jokowi bukan seorang purnawirawan yang sangat
berambisi mengejar kekuasaan dari calon presiden yang dibesarkan oleh
rezim orde baru dengan pendekatan politik ABG (Abri, Birokrasi, Golkar),
hingga ke calon wakil presiden dengan membentuk partai politik sendiri.
Bukan pula sesorang yang ingin mengejar kekuasaan dengan berpura-puran respect terhadap
orang miskin, dengan berusaha dalam sorotan media massa mengkonsumsi
nasi aking, demi membangun citra dan mendongkrak elektabilitas dalam
pemilihan presiden periode yang lalu.
Ketiga, Jokowi bukan
seorang Wargan Negara yang sejak “orok” telah kaya raya, sehingga
berpengaruh dalam keputusan ekonomi, politk juga dalam pengemplangan
pajak, atau dalam bahasa Sri Mulyani disebut sebagai kartel. Bukan pula
sosok yang dibesarkan oleh orde baru dengan kekuatan uang mampu
mempengaruhi kebijakan ekonomi, politik dari partai hingga keputusan di
tingkat eksekutif, legislative dan yudikatif.
Tentu saja
Jokowi bukan orang yang memiliki stasiun televisi yang dapat digunkan
sebagai media berkampanye sesuka hati dari istri, anak, menantu dan anak
buahnya yang merupakan mantan public figure di negeri ini demi
mempopulerkan niat dan ambisinya hingga ke pelosok negeri. Tentu saja
Jokowi bukan seseorang yang telah menorehkan sejarah kepedihan rakyat
pedesaan lewat operasi bisnisnya yang berhasil mensengsarakan ribuan
warga di Sidoarjo. Dengan politik dagang sapi bersama partai warisan
lama, berhasil membebankan rakyat lewat pemanfaatan pemerintah yang
“loyo” sebagai penaggung beban akibat kerugian operasi perusahaannya
lewat APBN.
Bukan pula tokoh kunci partai yang bersifat Anti Rakyat Banget (ARB)
saat usulan perubahan APBN 2013, dengan menyetujui kenaikan harga BBM
bersubsidi ditengah sebagain besar warga harus berhadapan dengan
masa-masa tahun ajaran baru dan menjelang Idul Fitri.
Keempat,
Jokowi bukan pula seorang yang mewakili Partai politik matahari putih,
seputih uban di kepala yang terus berganti-ganti kedudukan walaupun di
semua kementerian tidak pernah memberikan prestasi yang membanggakan.
Tentu saja dalam konteks ini Jokowi bukan besan sang presiden, yang
banyak menciptakan lagu-lagu melo ditengah kinierja yang tidak
memberikan perubahan saat korupsi kian subur melebihi kesuburan Eang
Subur oleh gerombolan partainnya yang sangat rakus dan mengerikan,
sehingga mampu menciptakan transisi demokrasi Indonesia menuju negara
kleptokrasi.
Tentu saja, Jokowi bukan seorang menteri
koordinator yang sesat pikir dalam menghadapi arus urbanisasi ke Ibu
Kota, dengan berpendapat bahwa salah satu penyebab urbanisasi ke Jakarta
adalah masalah ketetapan UMP 2013. Bukankah jauh sebelum adanya
disparitas lumayan jauh antara UMP DKI Jakarta dengan daerah, Ibu Kota
sudah kebanjiran pendatang sejak masa pra kemerdekaan? Pertanyaan ini
layak “dilemparkan” ke meja sang Menko agar kembali belajar sejarah.
Tentu saja tujuan mulianya agar sang menko dalam berpendapat dapat
dengan benar, khususnya memikirkan bagaimana sebenarnya membangun
kekuatan ekonomi bangsa ini. Dengan begitu, sang menteri mungkin akan
menyadari bahwa dirinya tidak layak menjadi presiden sampai kapanpun.
Kelima,
Jokowi lagi-lagi bukan anak seorang pejabat TNI yang telah berhasil
menempatkan namanya sebagai tonggak berdirinya kekuasaan orde baru lewat
penumpasan dan mungkin juga kejahatan kemanusiaan sejak 30 September
1965.
Dengan jabatan dan kedekatan dengan kekuasaan, tentu
saja memiliki hak terselubung untuk menjadikan anaknya sebagai generasi
kemiliteran di hari yang akan datang. Meskipun akhirnya hanya menjadi
jenderal biasa-biasa saja tanpa prestasi yang dapat dikenang dan
dibanggakan oleh bangsa ini. Tetapi karena keluarga dekat, atau adik
ipar sang penguasa jabatan di militer menjadi mudah diraihnya walau
tanpa prestasi yang berkontribusi besar terhadap kemajuan bangsa ini.
Menjadi
keluarga rezim berkuasa, kelihatannya menjadikan sesorang mudah
terkenal, mudah masuk dalam lingkaran elit partai, dan bisa jadi sudah
dipersiapkan menjadi calon presiden dari partai koruptif tersebut
meskipn ada konvensi-konvensian. Hal ini mungkin saja berkaitan dengan
masa depan keluarga atau kepentingan praktek keluarga penguasa jika
kekuasaan tidak dipengang oleh keluarga atau kerabat rezim saat ini.
Kondisi ini mengantarkan ingatan penulis atas kemunculan buku Gurita
Cikeas yang merupakan studi media yang dilakukan oleh
George Junus Aditjondro. Kasus dan buku ini mampu menjadi babak baru
kesadaran naïf rakyat akan sosok dan kegagahan sang presiden melankonis.
Keenam,
Jokowi bukan pula salah satu kader-kader soehartois yang tercerai
berai, akibat matinya sang pemimpin sebenarnya (bos besar). Popularitas
Jokowi bukan dibangun atas manipulasi informasi dengan iklan di media
massa miliknya sendiri. Lewat televisinya pula berhasil mengelabui
seluruh rakyat dengan mendirikan ormas, yang sebelumnnya diklaim tidak
akan menjadi partai politik. Belakangan kebohongan itu menjadi terbukti
dengan hadirnya partai baru peserta pemilu dengan kondisi perpecahan di
usia dini, akibat tradisi dan upaya oligarki yang dibangun dalam partai
hasil rekayasan tersebut.
Jokowi tentu saja bukan tipikal
yang selalu berpidato berapi-api di televisinnya sendiri walau semua
sadar dia belum pernah berbuat untuk republik ini selain berperan
melanggengkan kekuasaan orba yang anti demokrasi. Berpuisi dengan topik
nasionalis sejati, paling perduli dengan masa depan republik, paling
demokratis, walau bukti telah nyata bahwa demokrasi dalam partainya dan
perusahaan medianya sediri belum pernah tumbuh, bahkan berusaha untuk
dibunuh (baca kasus wartawati salah satu tv swasta)
Ketujuh,
Jokowi bukan pula seorang menteri aktif sekaligus pengusaha berkaliber
Nasional yang tidak mampu mengendalikan lonjakan harga-harga sembako
pasca kenaikan BBM dan Idul Fitri. Kinerjanya yang paling nyata hanyalah
memiliki banyak kesempatan untuk memajang foto-foto “narsis” dengan
pernyataan yang jauh dari kenyataan.
Bukan pula tipikal
manusia yang selalu ingin numpang “ngetop” atas prestasi orang lain.
Bayangkan seorang menteri urusan Tahu Tempe “heboh” menjadi penyambut
atlet bulu tangkis yang hadir dengan oleh–oleh juara dunia.
Sampai-sampai seorang teman satu tidur di rumah bertanya, “Apa urusan
menteri Tahun Tempe dengan Juara Bulu Tangkis?” Tentu saja penulis
menjawab "urusan numpang ngetop doang mama”
Mungkin saja
masih banyak yang tidak penulis ketahui dari sisi Jokowi, tetapi paling
tidak beberapa hal diatas merupakan gambaran yang tidak dicerminkan oleh
sosok Jokowi sebagai pribadi, sebagai pekerja keras, juga berdasarkan
garis keturunan. Hal-hal seperti diatas sudah menjadi kebiasaan yang
dapat “membonsai” demokrasi kita hanya berada dalam level kelas atas.
Menurut penulis ada fakta-fakta yang sangat menarik untuk diperhatikan
sebagai anti thesa dari kriteria diatas. Juga penting sekali untuk
dieksplorasi lebih jauh.
Pertama, Jokowi adalah anak
seorang tukang kayu di kota Solo Jawa Tengah. Perjalanan hidup dan karir
politiknya tidak se-enak dan segampang kebayakan tokoh-tokoh popular
negeri ini. Pengalaman hidupnya telah menempahnya menjadi pribadi yang
sangat manusiawi, mengerti akan kesulitan ekonomi hingga mampu membaca
pikiran rakyat dengan kesabaran dan ketegasan. Pekerjaan nonformal
semasa semasa kecil dia pernah lakukan, dari berdagang, mengojek payung,
dan jadi kuli panggul untuk mencari sendiri keperluan sekolah, bukankah
hal-hal demikian masih rutinitas mayoritas masyarakat kita?
Secara
biologis, Jokowi merupakan anak dari tukang kayu, pasangan warga biasa
dengan bapak Noto Mihardjo dan ibu Sujiatmi Notomiharjo. Jika ditinjau
dari sudut sosiologis, Jokowi dibesarkan oleh tradisi dan kultural Suku
Jawa yang amat santun, namun secara historis daerah yang memiliki
sejarah panjang "pergulakan pemikiran" dan kenyataan politik dan
perjalanan bangsa ini.
Dengan segudang pengalaman luar
negeri semasa berbisnis meubel, tentu saja membentuk cara berfikirnya
menjadi pekerja keras, memiliki relasi dan referensi bagaimana membangun
sebuah peradaban di kota besar. Dalam diri Jokowi, menurut penulis
hadir optimisme dari kelas menengah kebawah akan perubahan dari seorang
pemimpin dan optimisme bahwa garis keturunan bukan penentu siapa yang
layak memimpin daerah juga bangsa ini.
Kedua, Dalam dunia
politik, Jokowi merupakan sosok yang mampu menghadirkan kesejukan dalam
perbedaan. Ditengah tingginya gesekan Suku Agama dan Ras atau
primordialisme politik di negeri ini, Jokowi justeru menempatkan
pendampingya dengan latar belakang agama hingga suku minoritas dalam
mempimpin daerah. Bukti pula telah menunjukkan bahwa keserasian dalam
memimpin daerah antara Walikota dan Wakil Walikota telah memberikan
petunjuk bahwa, Jokowi tidak pernah menganggap wakilnya hanya sebagai
pelengkap perangkat negara. Tidak menempatkan kepentingan pragmatisme
menjadi dasar dalam memimpin daerah. Hal-hal demikian menjadi modal
dasar untuk membangun negeri ini dari perpecahan yang kadang menjadi
“mainan” politik para elit di republik ini untuk memenuhi kepentingan
golongan.
Ketiga, Dalam dunia pendidikan dan kesehatan,
Jokowi juga memperkenalkan sistem pelaksanaan, evaluasi dan efektifitas
Kartu Sehat dan Kartu Pintar yang mampu diterima dengan tingkat adaptasi
yang amat singkat. Juga hal menarik sekaligus paling fenomenal adalah
perhatian dan dukungannya dalam pengembangan SDM masyarakat khusunya
pelajar Indonesia dalam berinovasi lewat mobil Esemka.
Keempat,
Jokowi merupakan sosok yang mamapu membukan hati dan pikiran warga
Solo, dengan kemampuan "Diplomasi Meja Makan" yang dia meiliki, Jokowi
tentu saja menerapkan kebijakan dengan penuh solusi dengan dasar-dasar
kemanusiaan. Ditengah ganasanya SAT POL PP dalam penggusuran Pedangan
Kaki Lima (PKL) hampir disuluruh negeri, Jokowi mampu melakukan terosan
baru dalam penataan Kota Solo dengan merelokasi Taman Banjarsari tanpa
gejolak yang mengakibatkan banyak kerugian materil dan moril.
Memperjuangkan Surakarta menjadi anggota Organisasi Kota-kota Warisan
Dunia dan diterima tahun 2006. Membangun kembali kota solo dengan
sentuhan budaya dan kedaerahan yang khas sehingga menimbulkan semangat
baru untuk seluruh kota-kota di jawa dengan slogan “Solo, Spirit of Java” yang dikenal dengan kebijakan rebrending solo.
Kelima,
Jokowi merupkan sosok pekerja keras yang selalu diragukan diawal
kepemimpinannya, tetapi fakta telah membuktikan keberpihakannya pada
kearifan lokal, menjadi pertanda semangat nasionalisme sekaligus ekonomi
kerakyatan yang sangat teguh dalam dirinya. Salah satu yang paling
menarik dalam ingatan penulis adalah penolakan Jokowi terhadap
pembangunan mall di bekas pabrik es Saripetojo di Solo dan keteguhan
sikapnya hingga membuat Gubernur Jawa Tengah kesal.
Disisi
lain, berkat kerja kerasnya, pelayanan dan pengabdiannya terhadap
rakyat solo, Jokowi telah berhasil membuka mata hati warga solo dengan
memilihnya kembali hingga pemenang dalam Pilkada Lebih dari 90%,
sekaligus persentasi perolehan suara tersebut menjadi catatan sejarah
pemilihan langsung kepala daerah di repubik ini.
Jokowi
juga telah mampu mebuka mata dunia, berkat kinerjanya memimpin solo,
Jokowi berhasil menjadi walikota terbaik ketiga dalam World Mayor Project 2012 yang diselenggrakan oleh The City Mayors Foundation, yayasan walikota dunia berbasis di Inggris, setelah Walikota asal Spanyol dan Australia.
Keenam,
Bahkan Jokowi telah berhasil membuka mata hati warga DKI Jakarta,
dengan kemenanganya dalam pemilihan kepala daerah tahun 2013, ditengah
skeptisme yang akut, Jokowi telah membuka mata warga DKI dan Indonesia,
di awal kepemimpinannya, terobosan dalam menata Waduk Pluit yang telah
bertahun-tahun tidak terurus menjadi asri kembali dan fungsinya
berangsur-angsur pulih.
Meskipun upaya-upaya LSM dan
KOMNAS HAM mengundang "intervensi pihak luar" dalam penataan Waduk
Pluit, tetapi Jokowi tetap tenguh pada kebijakan yang berpihak kepada
kepentingan umum, tanpa menelantarkan warga bekas penghuni waduk
pluit, tentu saja dengan merelokasi warga ke rumah susun dengan
fasilitas lengkap. Sikap ini seolah mengisyaratkan bahwa "biar saya urus
negaraku sendiri" sosok nasionalis sejati yang tidak gampang di
ombang-ambingkan oleh misi-misi terselubung negara lain.
Penataan
Pasar Tanah Abang dengan solusi yang tidak meimbulkan gejolak dan
solusi yang menguntungkan bagi semua pihak, Penataan Pasar Minggu dan
penataan pelayanan birokrasi yang efektif juga pengawasan yang sangat
ketat terhadap kinerja birokrasi dan perangkat-perangkat daerah lainnya.
Tentu
saja, tulisan ini diharapkan untuk menimbulkan perdebatan baru, penulis
dengan sengaja tidak menghadirkan beberapa fakta-fakta penting yang
harus dielaborasi dari sosok, kinerja dan harapan terhadap Jokowi.
Secara prinsip paling tidak tulisan ini sebagai media belajar bagi
penulis dalam belajar menulis tentang sesuatu hal, dan berjanji akan
melanjutkan tulisan ini dalam pembahasan lain tentu saja setelah
menghadirkan diskusi dialogis yang dialektis.
Jakarta, 26 Agustus 2013
Juson J. Simbolon
Post a Comment