KAWAN
11 Juni 2013 pukul 17:06
Satu hari ini, tepatnya Selasa 11 Juni 2013, setelah lelah hidupku menghirup kejamnya asap dan poluntan pembakaran, berputar mengiringi keringat kuli perkotaan, sejuk ruang mini, tempatku menghabiskan sebagian besar sisa hidup, menggerutu dalam rindu yang terpasung. Mengingatmu, bersama menembus angin malam diantara kebengisan dan hedonism yang akut. Kita tak bisa pergi lagi, pergi ke alam sejuk kedamaian, berselimut dinginya Hutan Hujan, hangatnya segelas teh, bersama asab tebal tembakau terbakar seolah berputar mengikuti hati kita yang riang bersama malam, diiringi oleh hangat alcohol alami sahabat kita.
Kawan, adakah kau
datang kesini, atau aku harus menanti kau kembali, walau tak pasti
bersama sepi hari-hari yang mati ?. Adakah cita-cita yang kita ikrarkan
telah mati, mati bersama jejak kehidupan yang tak pasti ? atau telah
terbang sirnah bersama langkah-langkah yang lunglai.?
Tidak
apa-apa kita harus pulang dengan perut keroncongan, tak apa pula kita
harus kembali dengan mata nanar, yang penting piggiran sugai yang jernih
itu harus kita tiduri, bersama bebatuan diiringi derai damai kicau
burung bersama arus sungai yang liar. Sesekali mata kita menatap silau
cahaya hangat mentari menembus rimbun celah dedaunan hijau, tertidur
pulas bersama “kebas” kepala dibius alcohol yang tak tergantikan dengan
sebotol wine. Dengan suara gitar seadanya, kita bernyanyi dari Slow
Rock, reggae hingga dangdut melayu.
Setelah kembali,
segudang persolan akan kita hadapi dan buat sendiri, menyibukkan diri
dengan diskusi, aksi hingga merawat diri di Rumah Sakit akibat begeman
mentah para polisi-polisi yang kegerahan di terik siang. Kita masih
“berkoar-koar” menginginkan adil disana-adil disini. Tentu saja itu
pikiran kita yang masih muda, muda sekali untuk bicara Negara yang tak
akan pernah habis, berdebat tentang idiologi, ekonomi, hingga kekuasaan
yang tak akan selesai hanya di meja diskusi, kita lanjut di atas
“kreta”, kita lanjut diteras rumah, di tengah hutan, di sekretariat, di
“pakter” hingga di depan laptop kita masing-masing. Entah itu lewat
jejaring social, email atau menuliskan pandangan yang mungkin belum
terpandang.
Kini aku merindumu kawan, seperti apa aku
mendengar suara Yuke Pas Band menjelaskanya dalam lirik “Arti Kawan”,
dengarkanlah itu. Lagu yang sering kita nyayikan dikala malam dalam
tenda kecil di kaki bukit yang dingin, dikala “fly” bersama suara yang
melengking parau terasa indah dengan percaya diri di dengar oleh
binatang-binatang liar di gelap malam.
Kini pertanyaan
menghampirimu, dimanakah kau kini kawan, dimanakah kepala dan isinya kau
curahkan, mungkinkah kau telah larut dalam penelitian social yang tak
pernah kau cita-citakan, atau mungkinkah system ekonomi kampitalisme itu
telah berhasil merasuki seisi tubuhmu hingga ke sumsum mu yang paling
dalam, atau mungkinkah kau sudah kembali menjadi tanah seperti apa yang
menjadi kepastian sejarah.? Aku tidak sedang bertanya kepada alam maya,
aku juga tidak sedang dalam angan yang hampa.
Aku hanyalah seorang
penulis kecil yang tak perlu penilaian benar salah ataupun baik buruk.
Tapi seperti yang kau tau, akau hanyalah seorang sahabat yang hampir
tenggelam dalam pusaran persitiwa kehidupan, yang hampir lenyap bersama
siklus kehidupan yang jahat. Meski begitu, saya masih seperti dulu,
masih hidup dalam berjuta harapan, pun bisa mengoda agar kita berada
dalam binar kehiduapan yang indah penuh romantic. Sekalipun kerinduan
tidak menjawab keinginan, tetapi jiwa yang hangat akan terus abadi,
bersama impian yang sungguh tak kan pernah bisa terjawab saat ini.
Sekali lagi aku merindumu kawan, senyum cerah bersama mentari
menghampiri hari-harimu.
Jakarta 11 Juni 2013
Juson Ali’eha
Post a Comment