KUPANGGIL SAJA KAU JULI !
3 Desember 2012 pukul 13:34
Bagai kembang ditaman, engkau nyata dalam wewangian penuh kelembutan. Bagai nyiur melambai anggun, menelisik cahaya diantara dedaunan, begitu juga hadirmu, melintas diantara jiwa-jiwa keberingasan. Aku tidak akan pergi utuk kenyamana, namun hanya untuk tantangan, yah tantangan, tantangan penuh kebebasan yang telah sepekan sirnah bersama harapan yang tak kunjung datang.
Senin pagi tadi, “Hey nyonya”, begitu sahabatnya menyapa
penuh ke rinduan, setelah Tuhan berhenti di hari ke tujuh, disana pula
kita berhenti dari penjara kepurak-puraan, penjara kesetiaan dan penjara
kemunafikan, hingga kita tidak bertemu sejak Jumat kematian menutup
bulan di November yang lalu.
Sesunggunya pasir putih dibahana pantai dibibir lautan, sudah berpuluh tahun bahkan ribuan tahun lamanya, setia menyambut semilir ombak menyapa dengan kesejukan, sesejuk oase di gurun kekeringan, tapi mungkinkah hati kita sejuk dipagi ini.? Tentu tidak, tidak seperti indahnya alunana kicau burung di pagi tadi, tidak pula sesejuk embun pagi menetes diantar hijau dedaunana.
Aku tahu, semua itu karena kita
belum mampu, belum mampu melibas habis setumpuk lalap rumput hitam
dihari kemarin. Belum pula saya tahu, kamu dapat melibas habis si lelaki
jinak lucu yang ketemu di setiap kesempatan.
Juli, ia Juli. Kupanggil saja kau Juli, bukan karena kau lahir di
bulan Juli 22 tahun yang silam, bukan pula karena kau dibaptis dengan
nama Juli, dan bukan pula karena Juli itu begitu indah di telinga dan
mataku. Juli, begitu nyata hadir dalam setiap kesemptan, menemani hariku
hingga usia bulu-bulu halus telah meranggas di daguku. Juli, kau bukan
hadir dalam memori asmaraku yang begitu menggairahkan. Juli, bukan pula
nama seorang wanita yang mampu membius mati otakku dengan memori
kenangan. Juli, tetaplah Juli yang hadir dalam bayang-bayang masa lalumu
yang kelam.
Juli, kau hitam bagaikan awan menunggu curahan air hujan, terhenti
diatara gelap langit penuh biru. Sepekan yang lalu, kau kutunggu hadir
diantara kegelisahan yang tak kunjung sirnah, kutunggu diantara meriah
pesta pora bermandikan air hujan. Tapi tidaklah Juli, tidak kau muncul
di antara suara-suara yang kadang memilukan. Sekelompok orchestra telah
berlalu dengan nyayian penuh perasaan, berharap belas kasihan diantara
tuan-tuan yang kegirangan.
Sejak mentari tenggelam di Barat bersama
rintik hujan, wajah manismu tidak muncul dengan senyuman yang matang.
Akhirnya temanmu yang saban hari merindumu telah berlalu, berlalu pergi
selepas hujan berhenti, menuju sahabat karibnya dekat stasiun pusat
perkotaan.
Juli, sekali lagi kau kupanggil Juli saja, nama yang penuh makna dari
hidupmu, makna yang hadir selepas kita bersua 3 tahun yang lalu. Juli,
begitulah kau kupanggil, setelah kita berdiri diapit bau keringat
digerbong Kereta pertengahan tahun lalu, selepas si anak ingusan itu
meradang dihadapanmu, selepas si lelaki hitam itu hampir saja kau
gagahi, dan tidak luput pula selepas si gigi kelinci itu kau libas
diamuk nafsu membara di kotak kamarmu yang telah tiada. Juli kupanggil
saja kau dengan yakin tanpa penyesalan, hingga selepas semua cerita
indahmu telah mengenangi setumpuk romantisme masa laluku.
Betapapun aku tidak hadir di masa Julimu, aku tetap berharap kelak
kau tumbuh mekar diantara kegersangan jiwa yang akut, diantara keusangan
asmara yang melilitmu, diantara hidup kisah cinta orientalmu. Juga aku
masih berharap, kelak rembulan hadir bersama bintang di cerahnya langit
malam, sehangat mentari pagi mengiringi derap jalanmu. Juli, semoga kita
berjumpa diantara kerinduan, melibas penuh nafsu diantara kenikmatan.
Dan dengan itu kau pasti ku panggil Juli, dan biarlah kekasihmu setia
menunggu, walau dia mengemis dan menangis cinta dengan segudang
pertikaian, biarkalah dia tertinggal hanya untuk kesempatan, kesempatan
menjemput cintanya yang sudah lama hilang. Hilang bersama Juli-Juli yang
kian hari kian menggunung.
Jakarta, Jumpa Libas 03 Desember 2012
Juson Ali’eha
Post a Comment