MENGUJI KETENTUAN PIDANA DALAM UU NO. 20 TAHUN 2003

10 Juni 2014 pukul 15:46
Bagian 1
Juson Simbolon*

Lahirnya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional merupakan semangat perbaikan akan kualitas pendidikan di Indonesia. Terlepas dari beberapa kritik yang muncul seiring dengan penyusunan hingga pengesahannya, tetapi sejak UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional tersebut disyahkan oleh DPR, secara langsung UU ini merupakan produk hukum yang harus dijadikan pedoman bersama oleh seluruh penyelenggara pendidikan dari tingkat terendah hingga perguruan tinggi.


Salah satu yang paling penting dalam UU ini adalah ketentuan pidana yang bisa di jadikan pedoman dasar untuk menghindari terjadinya transaksi ijazah (jual-beli) oleh lembaga, perseorangan maupun organisasi penyelenggara pendidikan.

Oleh sebab itu, pengawasan atas proses penyelenggaran pendidikan hingga penerbitan sertifikat/ijazah merupakan tanggung jawab bersama oleh seluruh lapisan masyarakat, khususnya pemerintah yang telah diatur oleh UU Sisdiknas tersebut. Seperti tertuang dalam Bab XIX tentang pengawasan. Pada pasal 66 berbunyi ; (1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dewan pendidikan, dan komite sekolah/madrasah melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang dan jenis pendidikan sesuai dengan kewenangan masing-masing. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik.

Dalam konteks pengawasan, jika dilakukan dengan benar atau tidak terjadi pembiaran, sejatinya tidak akan terjadi proses pelanggaran hukum, dengan catatan pemerintah melakukan fungsi dan tanggung jawabnya sebagai mana telah diamanatkan oleh undang-undang tersebut. Kemudian faktor pemahaman akan informasi publik dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik juga diatur pada ayat 2 (dua), oleh sebab itu kelompok masyarakat semestinya memiliki hak untuk melakukan fungsi kontrol dan pengawasan terhadap kinerja pemerintah dalam melakukan tugas pengawasannya.

Studi kasus Dirum salah satu BUMD Kota Bogor

Menulis kasus ini menjadi menarik, karena dalam kasus tersebut terdapat hal-hal yang sangat fundamental dan penting pula untuk kita perhatikan bersama, khususnya Pemerintah, Praktisi Pendidikan, Pemerhati Pendidikan, Penegak Hukum, Advokat, LSM dan masyarakat secara umum, demi terwujudnya penyelenggaraan pendidikan yang berkeadilan dan bebas dari praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.

Selain faktor-faktor diatas, faktor yang sangat mempengaruhi penulis untuk mempublikasikan tulisan ini adalah sebagai bentuk respon atas tingginya tekanan terhadap penulis dan keluarga dari media massa dan LSM, yang telah mengetahui kasus ini guna mendapatkan informasi tentang kasus Dirum salah satu BUMD Kota Bogor tersebut.

Tulisan ini juga diharapkan menjadi jawaban penulis untuk mengkonfirmasi apa sebenarnya yang telah terjadi antara Dirum salah satu BUMD tersebut dengan salah satu PTS yang berdomisili di daerah Jakarta Barat.

Modus Operandi

Sepertinya sindikat ini sudah sangat lama dan tergolong rapi. Modus yang dilakukan oleh salah satu PTS yang menjadi studi kasus ini adalah sebagai berikut:

Pertama; Pihak universitas menginformasikan rencana akan diadakannya wisuda dalam kampus tersebut kepada agen-agen rekrutmen calon pembeli ijazah. Biasanya para agen dengan modus MoU dengan pihak universitas yang ditandatangani oleh rektor maupun perwakilan PTS memuat kesepakatan pasaran harga untuk Strata Satu (S1) dan Stara Dua (S2). Tentu saja ada yang tidak melalui sebuah kesepakatan tertulis, atau hanya kesepakatan lisan antara perorangan dengan pimpian sekaligus pemilik universitas.

Kedua; Para agen mencari calon-calon pembeli ijazah. Setelah dapat, para agen membawa calon-calon pembeli ijazah untuk mengikuti sidang “dadakan” dengan skripsi yang telah dibuat seadanya oleh para agen, atau oleh dosen-dosen yang terlibat. Dalam modus ini, mereka lazim disebut dengan operasi sarjana STIA (Sekolah Tidak Ijazah Ada). Pihak agen menawarkan kepada calon pembeli diatas harga yang harus disetor ke PTS yang bersangkutan, biasanya sekitar Rp.10 Juta-Rp. 20 juta/ijazah, tergantung kemampuan para pembeli ijazah.

Ketiga; Setelah semua pembayaran dilunasi, maka oknum-oknum pembeli ijazah diperbolehkan mendapatkan Toga untuk kebutuhan wisuda, yang dikoordinir oleh agen yang juga bertindak sebagai koordinator di daerah operasi masing-masing.

Dengan modus demikian, maka tidak jarang jika seorang pembeli ijazah dari mulai mendaftar, sidang, hingga wisuda dan memperoleh ijazah hanya membutuhkan waktu 1 bulan.

Praktek kotor ini sebenarnya sangat mencederai dan melukai rasa keadilan bagi mahasiswa yang benar-benar kuliah dengan menghabiskan waktu antara 3,5-4 tahun untuk memperoleh gelar sarjana. Praktek ini pula dengan sangat jelas melanggar ketentuan sesuai dengan UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Lebih “parah” lagi, ada yang tidak menyusun skripsi, tidak mengikuti sidang “dadakan” tetapi mengikuti proses wisuda sarjana serta memperoleh gelar dab ijazah sarjana.

Jika merujuk pada UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, modus operandi guna memperoleh ijazah dengan cara-cara demikian dapat dikategorikan sebagai praktek jual-beli ijazah atau dengan tegas memberikan ijazah kepada orang yang tidak berhak dan disimpulkan pula sebagai bentuk tindak pidana, sesuai dengan Bab XX Pasal 67 ayat (1) dimana “Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/ atau vokasi tanpa hak dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”

Dalam UU ini juga menegaskan bahwa, bukan hanya pemberi ijazah yang dapat dipidana, tetapi yang turut membantu pemberian ijazah dalam hal ini para agen pencari pembeli serta penerima ijazah juga dapat dipidana. Sesuai dengan pasal Pasal 68 ayat (1) dimana “Setiap orang yang membantu memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”

Ketentuan pidana untuk penerima ijazah sekaligus pengguna diatur pula dalam pasal 68 ayat (2) “Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”

Kembali ke kasus Dirum dan salah satu PTS Swasta di daerah Jakarta Barat tersebut, ternyata diantara pembeli ijazah diperoleh informasi, ada oknum PNS, Karyawan Swasta, karyawan BUMD dan anggota legislatif. Salah satu pembeli ijazah yang tercatat dalam lulusan 2013, saat ini menjabat sebagai Direktur Umum sebuah BUMD di Kota Bogor. Hal ini terungkap di media massa setelah adanya pengaduan seorang pengacara senior dari salah satu LBH di Daerah Bogor ke Mabes Polri, yang penyidikannya dilimpahkan ke Polda Jawa Barat.

Seiring berjalannya penyidikan dan pemeriksaan saksi-saksi, Tim Penyidik Polda Jawa Barat memanggil Dekan yang menandatangani Ijazah terlapor. Sejak panggilan pertama telah menyebabkan suasana di kampus menjadi tegang, semua staf dan beberapa dosen merasa ketakutan, saling menyalahkan, hingga akhirnya rektor PTS pemberi ijazah memanggil terlapor dalam hal ini Dirum salah satu BUMD tersebut untuk memberikan penjelasan tetang kasus yang sedang terjadi.

Dihadapan rektor, PR II, agen yang melakukan rekrutmen dan beberapa staf, terlapor menjelaskan bahwa kasus tersebut berawal saat dirinya memberikan ijazah S1 Hukum dan S2 Magister Manajemen sebagai pelengkap administrasi di tingkat internal, guna mendukung dan memperkuat jabatanya di BUMD tersebut.

Akibat adannya kecurigaan di tingkat internal atas kepemilikan 2 ijazah sekaligus dari universitas yang sama, maka dari internal BUMD informasi berkembang hingga kesalah satu Pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum di daerah Bogor dan belakangan menjadi pelapor dengan berpedoman pada UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional khususnya Pasal 67 ayat 1.

Dengan posisi yang patut diduga bersalah dan melanggar hukum, pihak pemberi ijazah dan terlapor bekerjasama “mengelabui” penyidik dengan modus mempersiapkan semua data-data akademik seolah-olah yang bersangkutan benar-benar mengikuti perkuliahan, mulai dari mengisi formulir pendaftaran dengan tanggal mundur, rekayasa absensi perkuliahan mahasiswa yang ditandatangani oleh terlapor (Dirum BUMD-Red) dan beberapa dosen, rekayasa absensi mengajar dosen, rekayasa kertas jawaban ujian, rekayasa soal ujian setiap semester, juga rekayasa teman satu angkatan/satu kelas terlapor serta rekayasa kuitansi pembayaran uang kuliah setiap semester.

Dalam konteks ini, sebenarya Tim Penyidik memiliki kewenangan untuk memperluas penyidikan serta membuktikan bahwa telah terjadi tindak pidana atas pembuatan data-data fiktif tersebut. Dan modus ini dapat pula disimpulkan sebagai bentuk tindak pidana diatas tindak pidana. Maka, semua orang ini semestinya diperiksa sebagai saksi bahkan bisa meningkat sebagai tersangka dengan menggunakan pasal tindak pidana pemberian dokumen fiktif/palsu.

Disisi lain, jika ditelusuri sebenarnya pratek ini dengan sangat mudah dapat dideteksi, dan dibuktikan bahwa ijazah yang bersangkutan bermasalah, atau diperoleh dengan melanggar UU Sistem Pendidikan Nasional. Sebab para pembeli ijazah instan ini pasti tidak terdaftar di Kopertis, maupun Pangkalan Data Perguruan Tinggi (PDPT), sebagai basis legitimasi ijazah sarjana seseorang. Dalam konteks ini pula, pemerintah yang diwakili oleh Kopertis Wilayah III DKI Jakarta sesuai dengan kewenangannya seharusnya memberikan keputusan tegas yang dapat dijadikan rujukan sebagai bahan penyidikan.

Sikap tegas Kopertis Wilayah III DKI Jakarta sangat penting dilakukan, sebagai bentuk tanggung jawab Kopertis Wilayah III atas kelalaian dalam melakukan tugas Pengawasan, Monitoring dan Evaluasi terhadap PTS-PTS di wilayah kerjanya, jika hal ini tidak dilakukan patut diduga bahwa praktek kotor tersebut selama ini diketahui dan terjadi pembiaran oleh Kopertis, khususnya Kopertis Wilayah III DKI Jakarta.

Dengan kasus ini pula, semestinya menjadi petunjuk awal bagi Pemerintah dalam hal ini Dirjen DIKTI, Kopertis Wilayah III DKI Jakarta, teman-teman pers, LSM maupun penegak hukum untuk mendalami praktek jual beli ijazah yang marak dilakukan oleh oknum-oknum beberapa perguruan tinggi swasata di DKI Jakarta, dengan tujuan melakukan penertiban penyelenggaraan pendidikan, jika diperlukan PTS yang telah terbukti melakukan tindak pidana dilakukan pencabutan izin operasional untuk mengujutkan efek jera bagi PTS yang lain.

Khusus bagi teman-teman LSM dan Pers yang selama ini tidak penulis layani, penulis berharap tulisan ini dapat mengarahkan kerja teman-teman untuk mencari informasi ke bagian pendaftaran, bagian akademik dan bagian keuangan universitas yang bersangkutan. Kepada pihak pemerintah, teman-teman dapat langsung meminta informasi dan sikap Kopertis Wilayah III atas kasus Dirum salah satu BUMD tersebut.

Di tingkat penyidikan, informasi seputar kasus ini juga dapat dikonfirmasi khususnya menyangkut bukti-bukti akademik yang terindikasi fiktif dan arah penyidikan kepolisian. Agar tidak terjebak hanya pada persolan benar atau tidak ijazah terlapor dikeluarkan oleh PTS bersangkutan.

Harapan lain dari tulisan ini adalah adanya pemahaman bersama atas maraknya praktek jual beli ijazah, modus operandi, peran pengawasan pemerintah dan masyarakat. Maka dengan pemahaman bersama atas modus dan praktek-praktek kotor dalam dunia pendidikan tersebut, para pelaku dapat segera “dihabisi” dan dipenjarakan guna menyelamatkan wajah pendidikan nasional di masa yang akan datang, sekaligus menguji komitmen pemerintah dan penegak hukum dalam menegakkan UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Maka sebagai pertanyaan terakhir, adakah kemauan pemerintah dalam hal ini Kopertis Wilayah III DKI Jakarta untuk memperbaiki proses penyelenggaraan pendidikan kita, dengan menjadikan kasus Dirum salah satu BUMD di kota Bogor tersebut sebagai pintu masuk untuk membongkar praktek kotor di beberapa PTS?, atau adakah kemauan pihak kepolisian untuk memperluas penyidikan dengan memperhatikan hal-hal subtansial dalam modus-modus penerbitan ijazah, dengan berpedoman pada UU No. 20 Tentang Sistem Pindidikan Nasional?

Tentu saja, jawaban atas kedua pertanyaan ini sangat ditunggu oleh semua pihak, sebelum adanya gugatan-gugatan baru terhadap lembaga-lembaga yang semestinya berperan dan bertanggung jawab sesuai dengan kewenangan masing-masing. Kemudian pengawasan atas kasus ini salah satu faktor kunci untuk mempercepat publik untuk memperoleh jawaban atas kedua pertanyaan diatas.

* Penulis adalah:
   Direktur Kelembagaan dan Organisasi
   Lembaga Investigasi Tindak Pidana Korupsi,
   Hukum dan Aparatur RI.

Juson J. Simbolon
081380490469
www.litipikor.org

Tidak ada komentar