PEMUDA-PEMUDA TANPA PIJAKAN

31 Oktober 2012 pukul 10:59

Tepat pukul 18.00, sore menjelang malam aku terhenti sejenak sebuah pos ‘Security Guard’ di sudut kampus itu tampak terlihat sekelompok mahasiswa mengobrol dengan asyiknya. Seperti biasa sudah menjadi rutinitas di setiap paruh semester selalu ada test atas semua materi pembelajaran yang sudah disampaikan diwaktu yang lampau, lazim juga disebut UTS.

Setelah membereskan semua berkas ujian, menyuruh computer kerjaku istirahat untuk waktu satu malam, sebuah kunci pematik pengapian motor bakar segera aku persiapkan. Tak terasa mata dan pikiranaku tertuju ke arah Security Guard yang sudah dikuasai oleh sekelompok mahasiswa kritis kampusku.
Dalam hati yang penuh tanya, pacar hijauku mengarah pojok kampus perlintasan lalu lalang keluar masuk setiap kendaraan itu. Dengan tegur sapa ala “hirarkis” anak kampus, se genduk sangar yang tadi sore bercerita masalah dialektika yang tidak nyambung itu memberi salam selamat malam, sambil tersenyum dia bertanya”mau pulang pak, kok cepat sekali, duduklah dulu kita cerita.!”. sejenak situasi itu menghantarku ke kehidupan 5 tahun yang lalu, dikala aku masih menyandang gelar Maha+Siswa, suasana itu seakan-akan mendorongku terbang ke jiwa-jiwa kaum muda pergerakan kala kampus coklat dilanda oleh banjirnya kritik atas pengebirian hak-hak dasar mahasiswa.

Seorang dosen muda saat itu selalu menarik untuk diajak bahkan dibajak kala kita dalam kebingungan akan solusi dan problem kemahasiswaan yang semakin akut, kronis dan tanpa pijaklan. Dia sangat menarik dan mudah memahami serta menginspirasi saya kala itu, terkadang saya dan beberapa teman hinnga larut malam, berdiri sambil menjelaskan beberapa hal yang kita anggap sebagai langkah-hasil dan resiko atas sebuah sikap radikal dan konfrontatif dengan keadaan. 

Dia adalah Bapak. Ir. Zahedi, M.Si, seorang dosen muda-kurus dan selalu dekat dengan kelompok mahasisiswa kritis, dengan penampilannya yang khas Gesper Pencinta Alam, Tas Ransel beserta Sepatu Adventure menemani kepulan asap rokok Long Bech kegemaranya. Ingatan ini membawaku ke romantisme gerakan kritis kala itu.

Situasi yang hampir sama, Selasa sore di kampusku mencari teman dan nafkah, beberapa orang mahasiswa kritis mencoba mengutarakan kegelisahanya, dibarengi dengan emosi pemikiran kritis bercampur kesal disampaikan penuh semangat. 

Saya memahami betapa keinginnya untuk maju terhalang oleh sekat-sekat peradaban dan pemikiran yang sudah dimakan senja, dia adalah mahasiswa terbaik saya semester tahun lalu, sebagai pemuda kritis, mengerti sedikit teori perubahan social, dan pernah mengenyam pendidikan idiologis dan filsafat selama satu semester saat saya menjadi asisten dosen. Situasi itu membawannya ingin terbang “dan melompat jauh menuju kemajuan penting” tapi sayang untuk saat ini dia tidak memiliki pijakan, jangankan untuk terbang untuk melompat kecil saja belumlah cukup kuat.

Ditengah berkerumun temanya, saya ingin sekali menterjemahkan kondisi objektif itu dengan langkah-langkah strategis dan "kongkrit atas situasi kongkrit", mencoba membangun sistematika kerja kolektif dalam memperjuangkan perubahan dalam menciptakan kondisi yang lebih bijak. Tetapi yang penting harus kalian ketahui, betapa situasi saat itu tidaklah tepat untuk sebuah pembicaraan strategis, yang pasti di waktu yang tepat kita akan uraikan stratak yang paling memungkinkan. Bersabar kawan, jangang mengalah sebelum bertarung, itu pantang bagi seorang pemenang."Hasta La Victoria Siempre..!

Sebagai alumni kelompok studi, dan memiliki pengalaman kecil dalam teori dan praktek pengorganisiran, demi memburu waktu, saya membawa situasi tegang itu ke suasana canda tawa dengan melempar topik tandingan, tentang kisah seorang diantara mereka yang memiliki balutan asmara dengan mahasiswi, sebentra saja menjadi topic lelucon riang. 

Sebenarya mereka berdua tidaklah jauh berbeda, menginginkan sebuah relasi dengan seorang wanita energik di kampus mandala utara. Sontak saja keadaan menjadi cair, candaan dan guyonan mengarah tak beraturan, mimik wajah yang serius itu berubah drastis menjadi penuh komedikal. Simpang siur bagaikan benang kusuk tanpa ada yang tau dimana pangkal dan ujungnya. Letusan tawa bersahut-sahutan seolah sudah lupa dengan kenyataan perjuangan.

Baru saja si wanita kecil mungil lincah yang menjadi topik cerita itu berlalu, di jemput dengan tunggangan roda dua bersama kekasihnya yang saban hari temanya untuk berdebat bahkan berkelahi akibat dominasi yang tidak mampu diimplementasi dalam hidupnya, tetapi itulah kisah cinta selalu sulit untuk dipahami, walau mudah untuk di analisis atau didiagnosa dengan teori logika sederhana. 

Dan si lajang kurus itu menjadi salah satu penentu mengapa pemuda-pemuda kampus nan kritis ini kalah hingga tidak mampu untuk berpijak pada belahan jiwa wanita sahabat karibku itu. Tak lama setelah situasi menjadi kacau sebuah janji manis kami sepakati di penghujung  minggu ini, menjelang weekend  kita akan bertemu lagi. Pertemuan ini untuk kita berbicara dan memandu serta menentukan pijakan, agar kita bisa melangkah, berlari dan melompat hingga kita bisa terbang tinggi melampau pikiran para generasi yang lain. Tapi ingat berpijak pada belahan wanita itu tidaklah masuk dalam list agenda kita, karena sejatinya itu ada dalam bayang-bayang subjektifitas kita ditengah objektifitas wanita setengah lajang itu.

Mohon maaf kawan, mohon maaf mahasiswa-mahasiswaku, saya harus pergi, kembali ke pelukan istri dan anak-anak ku malam ini, selamat malam kawan, selamat malam dan sampai jumpa di janji manis kita minggu ini. Silahkan lanjutkan perdebatan kalian dengan wanita licin itu. Dengan wajah tersenyum tipis baikan orang gila stadium 1, aku menyusuri jalanan dengan pacar hijauku  penuh riang menuju pondok peristirahatan setelah 1 hari aktivitas harian kampus melalap habis energiku.

Mandala Utara, Selasa 30 Oktober 2012
Juson J. Simbolon

Tidak ada komentar