PEREMPUAN DI TENGAH ZAMAN

14 November 2012 pukul 10:19
Reilen tak sanggup lagi menahan bulir-bulir air yang hampir mengambang di sudut matanya. Syal yang menggelantung di leher hanya sedikit membantu mengusap pipinya yang mulai basah. Emosinya memuncak mengingat  sebentar lagi jemputan akan tiba di Timur Jakarta. Sore itu Reilen dan teman baiknya menyusuri jarak puluhan kilometer di jalur kemacetan menuju Timur Jakarta, hanya untuk sama-sama beranjak dari kebekuan akan rutinitas pekerjaan yang terus begerak statis membunuh waktu dan usia.

Sumbringah senyumnya sesekali berhenti di kala lagu yang mewakili hatinya terbesit di pikiranya. Tingkahnya tidak kuasa menahan hatinya yang lagi guncang, diguncang oleh jiwa dan kenangan indah bersama kekasihnya dulu, dikala manis kata cinta masih serasa madu hutan tropis yang liar di tengah rimbawan. Dengan hati yang galau, sesekali Reilen berusaha menyembunyikan perasaan jiwanya dengan sikap dan ocehan penuh ketegaran.

Tetapi tidak untuk waktu yang cukup lama, karena tanpa dia sadari wajahnya tidak memancarkan mimik kegirangan yang muncul dari hatinya yang paling dalam. “Kenapa..Kenapa Reilen, kamu menyesali pertemuanmu..? atau kamu ingin kembali ke masa lalumu bersamanya lagi.? Sesekali pertanyaan itu muncul dari bibir teman dekatnya, dengan nada penuh keprihatinan becampur ledekan

Tetapi Reilen tidak pernah menjawab dengan sungguh-sungguh, nada sedikit guncang bercampur emosinya sering datang menjadi jawaban singkat tanpa basa-basi dari bibirnya yang mekar. “Apa sich, bisa tidak ga bicara itu lagi ?”, jawaban itu sering menjadi pertanyaan yang tidak akan pernah dijawab, kecuali dengan tawa atau senyum keterpaksaan dari teman dekatnya.  

Tak terasa himpitan arus mobilisasi pekerja menuju peristirahatan, tiba saatnya di pertengahan perjalanan, tepat di perbatasan Timur-Selatan Jakarta, sebagai respon atas kelelahan jiwa dan fisik di kota Metropolitan. Reilen dan teman dekatnya menyempatkan diri untuk membuang dahaga di tempat mereka biasa tertawa bersama pramusaji yang hampir akrab kiri-kanan.

Tetapi tidak untuk malam itu, Reilen bersama temanya tidak menemukan tempat yang biasa mereka gunakan untuk menikmati beberapa botol minuman dengan kadar alkohol rendah. Sebuah meja bergoyang yang tidak simetris dengan empat tempat duduk, properti yang terbuat dari material besi itu telah dibajak oleh sepasang kekasih penuh kemesraan. 

Sembari bermain ramal-ramalan kartu  ala paranormal kawakan, sepasang kekasih itu bersikap seolah tidak ada lagi manusia yang lain di sekitarnya. Memang di hari sebelumnya, meja itu sering didapati oleh Reilen dan temannya telah digunakan orang lain, tapi tidak untuk waktu lama, kesempatan akan tiba dengan sedikit intimidasi untuk menguasi meja besi yang keras itu.

Dengan suasana yang tidak tepat, pesona minimarket yang tidak bersahabat, Reilen yang saban hari di pacu emosi, berusaha untuk membahagiakan hatinya dengan candaan terhadap seorang pramusaji berdarah batak nan lucu itu. Temanya yang tidak akrab dengan suasana yang kacau itu, sesekali tersenyum lirih melihat mimik wajah Reilen yang tidak bisa lari dari gundah jiwanya. 

Tetapi bukanlah Reilen kalau tidak pintar dan cerdas mengalihkan suasana, sesekali dia bernada emosi jika jarum jam, yang terus berputar di sisi kiri minimarket itu, selalu dikaitkan oleh teman dekatnya dengan jam jemputan (Mantan ?) kekasihnya, di sebuah parkiran restoran siap saji, perempatan sisi Kanal Timur Jakarta.

Memang harus diakui, suasana malam itu tidak bisa merubah batin yang goyah menjadi panggung komedi tanpa panggung. Berbeda dengan hari sebelumnya, entah apa sebab yang pasti, sebuah pemahaman akan suasana semakin malam semakin membingungkan, di tengah kondisi yang tidak lazim itu, teman dekat Reilen berusaha untuk memecah kebuntuan yang tidak berwujud malam itu, namun tidak sedikit menjadi nada passif tanpa sebab. Dari dalam hati temanya bertanya, “Ada apa Reilen, apa yang kau risaukan, apa yang kau kawatirkan”? tetapi dengan sedikit mengelak dari masalah Reilen selalu menjawab “Tidak apa-apa, biasa aja !” nada itu sedikit optimis.

Ditengah larut membunuh waktu, meja kursi besi coklat tempat untuk melengkapi peristirahtan tidak kunjung kosong, akhirnya dengan suasana tanpa cipta, tanpa makna, rehat sejenak itu harus ditinggalkan, walau Reilen seolah-olah tidak ingin beranjak dari ruang minimarket itu, akhirnya dia dan temannya memutuskan untuk kembali ke ujung Timur pemukimannya.

Berat hati Reilen untuk beranjak pulang mengundang tanya oleh teman dekatnya, dengan jiwa yang seolah berkecamuk penuh kontradiktif, Reilen tak sadar mengalunkan langkah penuh lunglai, dengan nafas seolah tersesak Reilen berucap ”walah..menghadapi masalah lagi”, kalimat itu terucap dari bibirnya yang mekar dengan mata sayub seolah masalah telah menunggunya di tengah zaman kegirangan yang semu. 

Temanya bertanya dengan nada penuh penasaran, kenapa, masalah apa, kamu di jemput (Mantan?) kekasihmu jadi masalah ya..? Reilen tidak menjawab, dia hanya terdiam dan beranjak pergi dengan mata dan wajahnya di usap oleh kedua tangan bersama jemari lentiknya, seolah dia tidak ingin melihat apa-apa lagi. Genang matanya berkaca-kaca, seakan mendung telah tiba waktunya untuk membanjiri pipinya yang sedikit ditumbuhi jerawat-jerawat kecil memerah.

Sudah Reilen, zaman telah menginspirasi manusia, menginspirasi perempuan, untuk tidak terjebak dalam alunan "rayuan" yang berujung pada ke rugian yang dalam, kenangan pahit dan hegemoni serta dominasi laki-laki dengan dalih kata cinta yang absurd. Sudah..! sudah, tidak ada waktu untuk menyesali, mendua, karena sejatinya zaman akan terus berubah, bergerak meuju usia senja umat manusia, dan kita hidup di tengah zaman itu, bukan hidup di tepi di zaman yang lampau.

Jakarta, 13 November 2012


Juson Ali’eha 

Tidak ada komentar