PROSA JIWA TERPENJARA

23 November 2012 pukul 13:45
Setelah sing-sing fajar di sudut Timur peradaban, membangkitkan kembali jasadku yang mati, dimakan redup malam tanpa bintang, aku tidak menunggu hadirmu di sisiku dalam kenangan, pun tidak menunggu hadirmu dalam lamunanku. Sudut kota yang ramah telah sirnah, di telan genangan rintik hujan yang rajin menyapa, sesaat sebelum mentari menghilang di ujung Barat kehidupan.

Sederet kendaraan bersabar menunggu putaran, berjalan lamban menuntun arah penuh kemacetan. Pagi itu, saya pergi dengan luka yang tidak berbekas, bertegur sapah dengan kemurungan oleh jiwa-jiwa yang hampir kalap di tengah kepadatan perlintasan.

Tapi tidak untuk Jumat ini, setelah dua hari lamanya aku beku di pusaran jiwaku, pagi ini kau telah memacu semangtku, untuk melihat kembali goresan-goresan nadi kecil manis di pipimu, senyum pahit dan tawa penuh kebebasan, dengan warna cerah memerah di bibir dan lidahmu yang mungil mekar, sesekali warna itu berubah biru, sebiru hati kita di tengah ketengangan hitam pikiran picik umat sekitar.

Semagat itu telah memutarbalikkan keadaan yang semu, serasa waktu telah berlalu ribuah tahun yang lalu, memacu kerinduanku untuk duduk di pojok indah, yang telah sepekan tidak pernah ternikmati dengan tenang, sembari sesekali aroma pemacu “sawan” itu melintas di hidungku, hingga membangkitkan naluri keramahanku, mendekati sumber aroma yang kian lama kian mengodaku.

Tapi mungkin juga untuk sore ini, walaupun sesekali mataku menatap, menerawang kosong ke luar ruangan, menelisik jauh di awan yang kelabu, menembus kaca jendela yang hampir kusam. Sepertinya hujan akan turun dengan janjinya, November Rain yang mengiringi jemariku menekan penuh kasar touch–touch keyboard siang ini, merangkai sebuah prosa, perhiasan perjalanan hidup yang tidak pernah padam diterpa zaman. Keadaan ini, seolah menegaskan bahwa kita akan di guyur hujan di jalanan penuh sesak petang nanti.

Aku tidak berusaha memutar cepat jalan kehidupan, tapi sepertinya waktu menunggu hingga tiba disore nanti, telah berlahan membunuh akal sehatku. Sesekali membentuk imaji yang bebas namun terpenjara, dipenjara oleh system kerja yang tidak kenal hak atas malas. “Apa yang kau lakukan saat ini..? Untuk apa kau harus begitu..?” pertanyaa itu sesekali menghampiri otakku, yang hampir dihinggapi watak pikiran irasional.

Aku ingin pergi dan berlari secepat kilat, meninggalkan setumpuk oretan yang hampir usang, dan akupun pasti tau, kau juga menginginkan hal yang sama. Walau aku bisa pergi dan membalikan tubuhku, melangkah tanpa ragu menuju titik balik awal perjalanku di pagi tadi. Tapi apa arti, jika aku meninggalkan sesak gedung tua ini tanpa senyum dan tawa kegirangan, apa arti aku tinggalkan gedung merah-putih ini, tanpa tujuan dan kebersamaan di pojok jauh meja bergoyang pelengkap kebersamaan kita.? Jawablah, jawablah itu di dalam jiwamu, aku akan bersabar disini, di depan monitor pelengkap sore ini, aku ingin menunggu untuk sebuah kenyamanan sore ini, karena aku begitu mencintai hidupku, hidupmu di tengah teguk air beralkohol rendah di sudut kota bedebah.

Ditengah waktu membunuh sepi, naluri sastra telah membangkitkan jiwaku, bersama imajinasi yang hadir dalam lintas batas pikiran dan rasa malasku. Ditengah ambruk pasrah akan detak detik jam  di hadapanku, aku berusaha dengan sekuat tenaga, membunuh sepi dengan kreasi kata dalam pikiranku, hingga membentuk sebuah kalimat, kalimat yang berujung dengan cerita, cerita realitas hidup budak perkantoran di Kota ini. Aku akan terus menunggu, menunggu hadirmu di sore nanti, dengan senyum, canda dan tawa pelepas lelah, bersama aroma khas dikala wajah telah di usap debu berbau keringat polusi keganasan.

Dan dengan pasti aku akan menunggu, menunggu kembang suara lonceng pemberhentian, pemberhentian para budak dari rutinitas harian di penghujung minggu ini. Dan biarlah kita hidup disini, hidup diantara ruang dan waktu yang melelahkan, sekejab itu akan sirnah, setelah lonceng kematian telah tiba untuk kita beranjak pergi, pergi menuju kesenangan tiada tara.
  
Jakarta, 23 November 2012
Juson Ali’eha

Tidak ada komentar