PROSA SAYUP-SAYUP
29 November 2011 pukul 9:56
Kualunkan kakiku dipagi hari penuh semangat, menuju gedung aktivitas seharianku, engkau belum juga terbangun anak ku, walau suara alarm telah memenuhi kamar tidur dilantai dua rumah kita. Meskipun kamu belum terbangun anak harapanku, aku akan tetap pamit dengan kecupan manis dikeningmu pagi ini dan berujar pelan di telingamu "kamu harus jaga dan sayangi adek perempuanmu yang manis ini."
Menelusuri jakarta dengan
rasa malas, mungkin kita akan mati kelaparan, maka melangkah dengan
harapan walau keterbatasan transpotasi dan kesembrawutan kaum urban.
Transporasi publik sebagai pilihan, menghantar kita pada kenyataan Ibu
Kota. Armada publik itu melaju dengan sombongnya, sesekali berteriak si
kondektur kurus berambut gondrong memberi sandi kepada penumpang juga
pak sopir.
Aku duduk tepat dekat jendela, dari terminal
padat nan kecil di Timur Jakarta. Pagi itu aku dihibur oleh seniman yang
mengharapkan belas kasihan. Sebelum roda melaju menyusuri jalanan Ibu
Kota, dua orang pemuda mendendangkan lagu dengana aksi dan stylenya,
bagaikan aksi panggung artis kenamaan.
Aku melihatnya,
kedua pemuda itu begitu menikmati profesinya, walau tersirat di wajahnya
mimik rasa belas kasihan. Setelah sang sopir mengendalikan bus dan
melaju menuju ke arah barat, dengan lancarnya seorang pengamen muda itu
berujar tutur kata terima kasih dan kata salam bagaikan seorang ustazd
kondang didepan riuhnya jamaah.
Tepat di lintasan jalan
sejarah (Jl. Proklamasi-red), terdengar olehku seorang penjaja suara
tanpa instrumen, diantara desak-desakan penumpang kaum pekerja, dia
berupaya untuk didengar olehku dan oleh penumpang lain tentunya. Seperti
biasa dia pasti mengharapkan kantong bekas deterjen yang selalu
dibawanya, di isi uang receh oleh penumpang selepas dia menjajakan
suaranya yang kadang terdengar meringkih. Menyusuri jakarta, menuju
tempatku mencari nafkah mengharuskan melintas di sepanjang jalan
Diponegoro – Menteng, yang terkenal kompleks elite itu.
Di
sisi kiri dan kanan, terlihat gedung-gedung kedutaan berdiri megah,
berpagar tinggi bagai benteng pertahanan zaman perang dunia. Di kompleks
elite itu juga, berdiri dengan sloganya Tiga Partai Politik yang selalu
menghiasi berita akrobat politik nasional. Juga gedung pejabat negara
penuh pengawal, yang saya juga tidak mengerti mengapa mereka berada di
Kompleks Elite itu.
Di ujung jalan, armada tua dan over
kapasitas membawaku, menyusuri Jalan Soedirman, tanpa aba-aba seorang
Pahlawan Nasional dalam bentuk patung langsung menghormat kami penuh
gagah. Duyunan penumpang mengejar Bis Kota berdesakan mengejar selisih
waktu aturan kerja pemilik buruh. Tak terasa, armada 213 itu, melintas
di depan Gedung MPR/DPR-RI, seorang pengamen tua dengan kulitnya yang
mulai mengerut kembali berdendang, mendendangkan lagu-lagu yang mungkin
penumpang juga tidak mengerti isu syairnya.
Dari
kejauhan, terdengan sayup-sayup suaranya yang parau, sesekali hilang
ditelan bisingnya kenalpot beradu klakson kendaraan, yang saban hari
mengalami kemacetan. Paras wajahnya yang pucat, terlihat jelas tanda ia
belum menikmati sedikitpun hidangan pagi itu. Aku yakin benar bahwa
prosa sayub-sayub itu, upayanya untuk mencari nafkah/makan setiap hari.
Inilah
kenyataan Jakarta, saat mataku kutorehkan ke sisi kiri kaca jendela, di
sisi jalan terlihat Gedung Wakil Rakyat berdiri dengan megahnya, yang
pernah tersiar kabar telah miring 7 Derajat. Tetapi kenyataannya, yang mereng
itu bukanlah gedungnya, namun penghuninya yang sudah miring hingga 180
derajat lebih. Di dalam gedung itu pula, sekelompok orang hidup dengan
mewahnya, hingga anjingnya mungkin juga merasakanya.
Di
ujung prosanya yang tidak begitu jelas, kata salam dan terima kasih
dengan suara serak terturur dari bibirnya yang kering, sembari merogoh
kantongnya, membuka plastik kemasan deterjen yang dia sodorkan kepada
setiap penumpang. Seiring dengan laju bis kota, akhirnya dia tersenyum
ketika kantong uangnya telah berisi recehan belas kasihan penumpang pagi
itu. Aku menebak mungkin dia akan beli makanan untuk mengisi perutnya
yang mulai mengeroncong. Oh prosa sayup-sayub akankah engkau benar-benar
lenyap digantikan dengan kesejahteraan kelak, ataukah lenyap bersama
dengan akhir hembusan nafasnya..! Aku tidak mengerti
Post a Comment