SEPUTAR MID SEMESTER, HINGGA KATA AMPUNPUN TERUCAP

13 November 2012 pukul 15:00

Tujuh minggu setelah perkuliahan, seorang sahabat dekat menyapa penuh persahaban ala kuli kantor. Dalam candanya yang tidak begitu riang, berujar akan segera dalam pengujian setelah tujuh hari lamanya, bertatap muka dengan sekelomok masyarakat setengah elit di lingkungan Universitas.


Dengan gayanya yang khas, pengendara sepeda motor itu mengemukanan akan ada pengumuman penyerahan soal MID semester. Sontak saja saya memeriksa lembar demi lembar materi perkuliahan yang di coret-coret tidak karuan dalam Satuan Acara Perkuliahan (SAP) berwarna merah di mejaku, yang sudah padat dengan tumpukan kertas.

Dengan penuh keyakinan, 6 Soal sederhana saya susun berdasarkan materi setiap pertemuan. Tepat tanggal 01 November 2012 sore menjelang malam, ruang laboratorium yang di bajak oleh computer-komputer super canggih itu dipenuhi oleh sekelompok mahasiswa dengan gaya ala anak Teknik, duduk rapi bagai menunggu prosesi keagamaan akan dimulai. Kertas kartu ujian yang putih polos menempel disisi kiri meja belajar mereka.

Tanpa diduga, dua kaum hawa yang kegirangan mendapat tugas penting dari pemimpin tertinggi Universitas, di tengah situasi yang hampir kalap, soal ujian datang dengan lambannya hingga memaksa prosesi intip-mengintip dan contek-menyontek terlambat dimulai. Tapi tidak apalah, mungkin itu bagian dari dinamika kota yang selalu hidup dalam kompleksifitas kaum urban. Setelah satu dua tangga terlalui, ruangan 305 yang hampir padat itu terbuka bersamaan dengan riuh kelas menengah menanti kertas ujian.

Sembari berjalan di beranda lorong ruangan kelas, sahabat lucu yang masuk dalam perbicangan hangat, sehangat cerita seks itu memperlihatkan mukanya dengan senyum gigi kelinci yang unik. Dia terlihat dengan jelas diantara daun pintu yang terbuka setengah, dia tidak begitu sukar di kenali, apalagi dia selalu “ditemple ketat oleh kekasihnya” setiap saat bagikan balapan Formula 1 menuju garis finist.

Tanpa basa-basi, sapaan lucu penuh senyum, sembari mengingat cerita manis minggu lalu saya menyapa”Hey And. hari ini sifat ujian buka buku, tapi tutup mata, tutup mata hati maksudnya”. Jawabanya yang sedikit malu-malu membawaku pada perdebtan di media social minggu lalu, sebuah prosesi adam dan hawa yang menginspirasi kita akan makna nilai akhir hubungan seks dan kepuasan.

Sejak awal, saya berfikir konvensional memahami kebutuhan akan seks, tanpa diduga dengan sapaan sedikit menyinggung pembicaraan minggu lalu itu, dari sisi pintu 305, saya melanjut pembicaraan dengan nada sedikit canda “masak berakhir begitu saja..?” dengan senyum tipis, sembari si wanita licin itu berlalu tepat disampingnya, dia berujar penuh optimisme”Yang penting keluar aja pak, uda lega itu”. Hahahaha…! Rasa tawa dihatiku tak terbendung, sejak awal saya mendunga hal itu merupakan bahasa untuk mengelak dan alibi atas ketidak sanggupan sampai ke sasaran yang diberikan oleh yang kuasa.

Tetapi kenyataanya tidak demikian, ternyata yang dia maksud puncak dari seks laki-laki itu ada pada waktu mengeluarkan cairan hangat dari kelaminya. Fakta ini mengingtakkanku saat berteman dekat dengan dua orang teman warga Negara Poandia dan Inggris, mereka menyatakan hubungan mereka relasi, yang bisa terwujud dalam kebutuhan biologis.

Dia menjelaskan, relasi sejenis itu tidak berbeda dengan relasi lawan jenis, yang berbeda hanya metode mencapai kebutuhan seks semata, namun nilai akhirnya adalah sama. Sikap itu menurutnya lebih sebagai upaya menempatkan wanita tidak semata-mata hanya objek seks laki-laki, kedengaranya humanis bukan. Sebab menurut mereka kebutuhan seks laki-laki juga bisa terpenuhi dengan sesama laki-laki, jika dilihat dari tujuan akhir memang benar. Tetapi nampaknya budaya ini tidak begitu sejalan dalam budaya Timur, walau secara terselubung praktek demikian nyata dalam kehidupan sehari-hari, khusnya di kota-kota besar.

Terlepas dari argumentasi yang bernilai western tersebut, saya ingin kembali kepada suasana MID semester tahun ini. Setelah waktu ujian hampir selesai, ruang laboratorium computer yang berada tepat dipojok lantai 3 itu berubah rium ibarat anak TK yang akan pulang sekolah, sekelompok anak teknik dengan berbagai style tersebut keluar dengan senyum penuh riang.

Disebelah ruang sana dua perempuan paruh baya masih setia mengawasi ujian yang open book tersebut. Hingga jam ujian usai, perbincangan sepintas itu tidak berubah dalam benakku, hingga aku berkesimpulan bahwa, “tidak selamanya yang lama dan lebih dulu berproses itu lebih bijak. Mengingat pembicaraan dan kaitanya dengan humanism hubungan sejenis yang diterapkan oleh teman saya dua tahun lalu.

Kesimpulan tersebut, saya torehkan di media social, tak disangka seorang wanita mungil komplit itu ikut berkomentar, seolah menyikapi bahwa pernyataan teman kemarin bukan sebuah kebijaksanaan, namun ketidak mampuan hingga menuju ke beranda peraduan sebenarnya.

Wajar saja wanita itu bereaksi cepat, bagaikan rezim reaksioner yang kalap jika ada kritik, sebab dialah wanita itu, wanita yang mengantung seluruh aspirasi bathiniyah lelaki itu, hingga berakhir dilipatan bulat melingkar ke lima jemarinya, sembari menaik-turunkan jemarinya diatas kulit yang meregang. Dengan berbagai tudingan, rekam desus birahi, mencatat memori dengan lagu-lagu, bagaikan film blue sedang dipertontonkan. Tanpa ragu si wanita mungil itu beradu argumentasi, walau tak tampak lelaki yang lega setelah keluar itu menjawab dan berbalas komentar.

Hingga komentar itu memanjang, beruntun bagaikan anak tangga, dia sesekali muncul dengan menuliskan tudingan bahwa wanita itu tidak konsisten. Tetapi  tidak disangka, wanita bergigi terikat itu menyerang penuh amunisi, menyanyikan semua lagu desah nafsu memburu waktu. Hingga semua lagu ciptaannya, di kamar kotak kontrakan beberapa bulan yang lalu terpublikasi dengan nyata. Ditengah serangan wanita mungil menggoda itu, akhirnya dia pun berujar..ampun…!!

Jakarta 02 November 2012
Juson Ali’eha

Tidak ada komentar