WANITA, AKU INGIN KAU TELANJANG
29 November 2012 pukul 13:59
Wanita
muda itu tidak begitu sukar untuk diingat, wajahnya yang mungil dengan
keunikan hidung menempel setia di wajahnya yang ditumbuhi
jerawat-jerawat kecil merah merona, seolah pertanda bahwa dia dilahirkan
hanya untuk edisi terbatas. Rambutnya meranggas terurai setengah bahu,
kadang memancarkan karakternya yang tidak begitu teguh dalam kibasan
terjal arus zaman dan pilihan akan gaya hidup modrenitas abstrak.
Di sebuah pusat “tongkrongan” seorang sahabat dekatnya menunggu ditemani secangkir Hot Coklat bertabur gula. Dia tiba dengan senyuman, tetapi dia tidak tampak seperti PSK papan atas yang pandai menyembunyikan bintik noda diatas kulit wajahnya, dengan sapuan solekan dan aroma yang menggoda, tidak pula seperti wanita malam yang lihai melukis alisnya menjadi tajam bergaris penuh kelembutan, dan bukan pula bulu matanya lentik bagaikan dandanan ratu di zaman raja-raja kala pesta kerjaan akan dimulai.
Tubuhnya yang mungil hanya dibalut blus putih bercorak, dengan transparansi yang cukup memberikan pemandangan indah lekuk tubuh wanita, diatas karpet merah peragaan busana. Busanananya tampak sedikit lebih longgar hingga belahan buah dadanya yang melingkar kecil dibalut Bra tanpa tali menempel dibahunya, tidak tampak dalam aksen kewanitaan masa kini.
Sebagai pertanda modrenitas anak muda, pelengkap dandananya berpadu dengan celana Jeans biru lebih besar dari biasanya, menyebabkan bentuk bokong dan daerah kewanitaanya tidak terlihat kontras oleh mata siapapun yang berada didekatnya.
Setelah duduk, dengan gayanya yang khas, sapaan sunyum gigi tersiksa mengalir dari bibirnya yang sedikit tampak lebih merah, aroma khas yang selalu membangkitkan naluri indrawi penciuman tidak begitu terasa saat itu, hanya sekilas aroma yang masih terlihat lembab di sepanjang rambutnya, sesekali melintas harum di sekitar leher yang tidak begitu terlihat mulus. Meski solek dan dandanya tidak tampak seperti PSK simpanan para penguasa, tapi dia cukup bergairah saat itu.
Tidak lama berselang, sembari berbicara penuh kehebohan, dengan tatapan menggoda, tanganya yang liar meraba-raba diantara selipan dan lipatan, meraih alat vital yang saban hari meracuni hidup dan pikiranya. Setelah ujung jemarinya berhasil menekuk mesra rabaanya, mata dan mimik wajahnya memancarkan rasa lega yang cukup indah penuh kepuasan. Tidak diduga, setelah alat vital itu berhasil diraih, matanya terbelalak keheranan dengan nafas tersesak, tak kala menyaksikan dengan mata telanjang alat vital itu telah mati. Dengan penuh kelembutan, kelima jemarinya mengelus mesra dan menekan penuh perasan agar alat vital dalam gengamannya hidup kembali dengan normal. Namun sayang dia tidak berhasil sampai ke puncak kehidupan yang penuh kenikmatan itu, sungguh masalah besar telah terjadi.
Dengan perasan yang hampa, jiwa yang “galau”, matanya menatap kosong cermin yang bertabur aneka merk minuman bersoda, sesekali rambutnya yang tampak sedikit coklat dikibaskan dengan tangan kananya yang gagal meraih alat vital kehidupan manusai masa kini. Namun tidak disangka, pikiran dan darahnya serasa mendidih kembali, menahan amarah yang memuncak kemarin malam, seorang bocah pramusaji menghiasi tatapanya penuh arti. Dialah O, mahasiswa dengan muka “sakau” yang hampir menggantikan lelaki pujaanya, sekaligus lelaki penuh masalah yang telah menemani perjalanan harinya di berbagai kesempatan siang dan malam. Wajah itu mirip sekali, sepertinya dia merupakan lelaki berdarah Tapanuli yang tergambar dari nama yang menempel di name tag trainingnya.
Senyum lirih, marah dan sedikit menaruh penasaran tergambar jelas dari wajahnya yang kacau. Tidak tahu persis, apakah wanita ini sedang di buru nafsu, atau dibunuh lelah jiwanya yang tidak bisa lepas dari sisi gelap asmara lawan jenisnya saat ini. Tidak tahu, sungguh tidak tahu persis, tapi dia berujar dalam nada yang hampir pasti, kelak di 25 Desember 2012, harus mendapatkan lelaki untuk merayakan Natal bersama. “Kejar target ini, jangan sampai ga punya pacar natal nanti”.
Meski itu tidak hadir dari kegelisahan dan kejujuran jiwanya sebagai wanita, sesunguhnya kalimat itu telah membunuh akal sehat manusia, dan sesuatu yang unik pula dalam peradaban manusia beragama. Namun bukanlah itu sebuah kerusakan moral, bukan pula itu sebuah kesalahan atas kemanusiaan, tetapi itulah bagian terpenting dari sisi kemanusiaanya.
Seperti apa yang Aristoteles katakan “Nilai manusia, bukanlah ditentukan oleh kehancuran hidup dan cita-citanya tetapi oleh perjuangannya mempertahankan harkat kemanusiaannya.” Barangkali dengan begitulah dia memperjuangkan harkat kemanusiaanya dikala natal tiba, meski itu tidak terlalu penting kedengaranya namun begitulah Jean Paul Sartre menguraikan Eksistensialisme"human is condemned to be free".
Begitu pula lah haknya untuk berbicara dan saya akan mendukungnya meski saya tidak sepenuhnya setuju, seperi apa yang disampaikan oleh sastrawan sekaligus Filsuf Prancis Voltaire "Saya tidak setuju apa yang kau bilang, tetapi akan saya bela mati-matian hakmu untuk mengucapkan itu". Sebuah cerminan kebebasan yang absolut untuk sesorang mungucapkan sesuatu dengan telanjang dan gamblang.
Sejatinya, pikiran dan kreasi jiwaku ingin sekali menggambarkan seluruh indah hidupnya dengan kata, mengurai detail seluruh aspek hidupnya yang mewarna, sesekali terbuka, berbicara telanjang dan gambalng di kedua telinga dan pendengaranku. Dengan bahasa dan tindakan yang mudah dimengerti, namun mungkin sekali tidak untuk saat ini.
Walau potret wajahnya yang manis dan sisi batinya belum bisa ditafsirkan dengan nyata, tetapi sebuah perasaan terbuka telah menghampiri kesenanganku untuk menatap dan mendengarkanya penuh riang. Meski sebuah “kejujuran yang berbohong” masih tersimpan rapat, serapat kedua tangannya terselib diantara kedua pangkal pahanya yang hangat, aku akan terus menunggu, menunggu kita kembali di Pojok tawa canda, melepas lelah yang terus bergerak mekanis, karena aku tahu, meskipun aku tidak melihat hadirnya disni, namun pikiran dan memoriku telah membentuk kreasi atas kehadiranmu dalam coretan sore ini.
Jakarta, 29 November 2012
Juson Ali’eha
Di sebuah pusat “tongkrongan” seorang sahabat dekatnya menunggu ditemani secangkir Hot Coklat bertabur gula. Dia tiba dengan senyuman, tetapi dia tidak tampak seperti PSK papan atas yang pandai menyembunyikan bintik noda diatas kulit wajahnya, dengan sapuan solekan dan aroma yang menggoda, tidak pula seperti wanita malam yang lihai melukis alisnya menjadi tajam bergaris penuh kelembutan, dan bukan pula bulu matanya lentik bagaikan dandanan ratu di zaman raja-raja kala pesta kerjaan akan dimulai.
Tubuhnya yang mungil hanya dibalut blus putih bercorak, dengan transparansi yang cukup memberikan pemandangan indah lekuk tubuh wanita, diatas karpet merah peragaan busana. Busanananya tampak sedikit lebih longgar hingga belahan buah dadanya yang melingkar kecil dibalut Bra tanpa tali menempel dibahunya, tidak tampak dalam aksen kewanitaan masa kini.
Sebagai pertanda modrenitas anak muda, pelengkap dandananya berpadu dengan celana Jeans biru lebih besar dari biasanya, menyebabkan bentuk bokong dan daerah kewanitaanya tidak terlihat kontras oleh mata siapapun yang berada didekatnya.
Setelah duduk, dengan gayanya yang khas, sapaan sunyum gigi tersiksa mengalir dari bibirnya yang sedikit tampak lebih merah, aroma khas yang selalu membangkitkan naluri indrawi penciuman tidak begitu terasa saat itu, hanya sekilas aroma yang masih terlihat lembab di sepanjang rambutnya, sesekali melintas harum di sekitar leher yang tidak begitu terlihat mulus. Meski solek dan dandanya tidak tampak seperti PSK simpanan para penguasa, tapi dia cukup bergairah saat itu.
Tidak lama berselang, sembari berbicara penuh kehebohan, dengan tatapan menggoda, tanganya yang liar meraba-raba diantara selipan dan lipatan, meraih alat vital yang saban hari meracuni hidup dan pikiranya. Setelah ujung jemarinya berhasil menekuk mesra rabaanya, mata dan mimik wajahnya memancarkan rasa lega yang cukup indah penuh kepuasan. Tidak diduga, setelah alat vital itu berhasil diraih, matanya terbelalak keheranan dengan nafas tersesak, tak kala menyaksikan dengan mata telanjang alat vital itu telah mati. Dengan penuh kelembutan, kelima jemarinya mengelus mesra dan menekan penuh perasan agar alat vital dalam gengamannya hidup kembali dengan normal. Namun sayang dia tidak berhasil sampai ke puncak kehidupan yang penuh kenikmatan itu, sungguh masalah besar telah terjadi.
Dengan perasan yang hampa, jiwa yang “galau”, matanya menatap kosong cermin yang bertabur aneka merk minuman bersoda, sesekali rambutnya yang tampak sedikit coklat dikibaskan dengan tangan kananya yang gagal meraih alat vital kehidupan manusai masa kini. Namun tidak disangka, pikiran dan darahnya serasa mendidih kembali, menahan amarah yang memuncak kemarin malam, seorang bocah pramusaji menghiasi tatapanya penuh arti. Dialah O, mahasiswa dengan muka “sakau” yang hampir menggantikan lelaki pujaanya, sekaligus lelaki penuh masalah yang telah menemani perjalanan harinya di berbagai kesempatan siang dan malam. Wajah itu mirip sekali, sepertinya dia merupakan lelaki berdarah Tapanuli yang tergambar dari nama yang menempel di name tag trainingnya.
Senyum lirih, marah dan sedikit menaruh penasaran tergambar jelas dari wajahnya yang kacau. Tidak tahu persis, apakah wanita ini sedang di buru nafsu, atau dibunuh lelah jiwanya yang tidak bisa lepas dari sisi gelap asmara lawan jenisnya saat ini. Tidak tahu, sungguh tidak tahu persis, tapi dia berujar dalam nada yang hampir pasti, kelak di 25 Desember 2012, harus mendapatkan lelaki untuk merayakan Natal bersama. “Kejar target ini, jangan sampai ga punya pacar natal nanti”.
Meski itu tidak hadir dari kegelisahan dan kejujuran jiwanya sebagai wanita, sesunguhnya kalimat itu telah membunuh akal sehat manusia, dan sesuatu yang unik pula dalam peradaban manusia beragama. Namun bukanlah itu sebuah kerusakan moral, bukan pula itu sebuah kesalahan atas kemanusiaan, tetapi itulah bagian terpenting dari sisi kemanusiaanya.
Seperti apa yang Aristoteles katakan “Nilai manusia, bukanlah ditentukan oleh kehancuran hidup dan cita-citanya tetapi oleh perjuangannya mempertahankan harkat kemanusiaannya.” Barangkali dengan begitulah dia memperjuangkan harkat kemanusiaanya dikala natal tiba, meski itu tidak terlalu penting kedengaranya namun begitulah Jean Paul Sartre menguraikan Eksistensialisme"human is condemned to be free".
Begitu pula lah haknya untuk berbicara dan saya akan mendukungnya meski saya tidak sepenuhnya setuju, seperi apa yang disampaikan oleh sastrawan sekaligus Filsuf Prancis Voltaire "Saya tidak setuju apa yang kau bilang, tetapi akan saya bela mati-matian hakmu untuk mengucapkan itu". Sebuah cerminan kebebasan yang absolut untuk sesorang mungucapkan sesuatu dengan telanjang dan gamblang.
Sejatinya, pikiran dan kreasi jiwaku ingin sekali menggambarkan seluruh indah hidupnya dengan kata, mengurai detail seluruh aspek hidupnya yang mewarna, sesekali terbuka, berbicara telanjang dan gambalng di kedua telinga dan pendengaranku. Dengan bahasa dan tindakan yang mudah dimengerti, namun mungkin sekali tidak untuk saat ini.
Walau potret wajahnya yang manis dan sisi batinya belum bisa ditafsirkan dengan nyata, tetapi sebuah perasaan terbuka telah menghampiri kesenanganku untuk menatap dan mendengarkanya penuh riang. Meski sebuah “kejujuran yang berbohong” masih tersimpan rapat, serapat kedua tangannya terselib diantara kedua pangkal pahanya yang hangat, aku akan terus menunggu, menunggu kita kembali di Pojok tawa canda, melepas lelah yang terus bergerak mekanis, karena aku tahu, meskipun aku tidak melihat hadirnya disni, namun pikiran dan memoriku telah membentuk kreasi atas kehadiranmu dalam coretan sore ini.
Jakarta, 29 November 2012
Juson Ali’eha
Post a Comment