BUSISAON JALA LUNGUNAN

M. Juson Ali’eha Simbolon*
“Biarlah’ku disini, menunggu kau kembali”, sepenggal lirik ini telah mewakili seluruh hati dan pikiran’ku, menunggu dalam detik-detik yang tidak menentu. Setiap waktu berputar menuju harapan akan hadirmu.

Malam hari tetaplah malam, tak pernah dia berubah, akan terus dia datang, menambah kepedihan, malam kutunggu datang, bertabur bintang, terangilah jiwa’ku, malam berikanlah jawaban” sambungan penggalan lirik ini memanifestasikan seluruh bayang diri’mu bersamanya. Membakar api rindu dalam hati’ku, bagai api dalam sekam membakar pelan menuju rasa cemburu.


Aku mendengar kabar’mu dari kejauhan, kamu merasakan kebosanan, aku mendengar kabar’mu dengan kondisi sakit, aku mendengar, dan aku mendengar segalanya hingga aku sepi disini (lungunan-red). Tapi kadang aku mendengar engkau begitu bahagia dengan tawa candamu, aku marah, kesal dengan diri’ku sendiri, mengapa aku harus mendengar kebahagiaan’mu di tengah kesedihan’ku.

“Malungun,” bercampur “busisaon do au hasian” dan terkadang aku tidak tau apa yang ku’lakukan selain mengirimkan dan meminta kabar lewat SMS, sesekali dalam kesempatan yang sempit mendengar suaramu. Setiap sore tiba, angan’ku melayang, kosong bagai kertas tertiup angin tanpa tujuan. Berkali-kali kalender di meja’ku kutatap, menghitung hari dalam hati penuh rasa bosan menanti’mu.

Aku rindu canda manja’mu, aku rindu peluk cium’mu, aku rindu duduk persis di sebelah’mu menikmati hidangan tradisional yang hangat, sehangat cinta dan kasih sayang’mu. Aku tau, kini kamu berada dalam himpitan tradisi jawa’mu, menghilang dari watak Tapanuli yang ceria itu. Kamu tau, selama menunggu, tidak ada kata manis yang bisa aku sampaikan, selain kata-kata mengingatkan’mu akan hangatnya dealek dan bahasa kita di Utara Sumatera.

Sesekali, memang terdengar menyakitkan isi pesan’mu, tapi aku tetap percaya bahwa itu hanyalah pesan-pesan yang hadir dari keajuhan. Aku tidak akan pernah membalas dengan kata tanpa Sayank, tanpa Hasian, tanpa Iban dan sesekali dengan kata memanggil nama’mu! Karena aku begitu menanti hadir’mu dengan cinta dan senyuman. Mungkinkah kamu merasaknnya?

Busisaon jala lungunan, mungkin kata ini hanya kita yang mengerti, apa sebabnya aku busisaon dan lungunan. Mungkin pula hanya aku yang tau dan merasakan, kenapa aku harus begitu. Walau sesekali kata itu kamu sampaikan dari kejauhan, tapi aku bimbang jika kamu tidak hadir cepat-cepat disini, di tempat kita bertemu dengan waktu yang sempit.

Yang pasti aku ingin kamu cepat hadir disini. Aku ingin melihat kamu kembali dengan senyuman dan matamu yang mengecil menjelang malam tiba. Aku ingin nikmati bersama hidangan Tradisonal Aceh disudut kota kecil tempat kita selalu bersua. Aku ingin rehat sejenak di rest area, aku ingin kita bernyanyi di basement sebuah pusat perbelanjaan, aku ingin menikmati susu jahe di pinggir trotoar, dan tentu saja aku ingin peluk dan kecup keningmu dengan kehangatan. Tapi aku tidak ingin berpisah dan turunkan aku di pinggir jalan menjelang pukul 00.00 malam.

Dalam penantian’ku yang panjang, aku ingin kamu hadir membunuh rasa busisaon dan malungun yang menjangkiti hati dan pikiran’ku. Aku sudah tidak kuasa mendengar kata rindu dari’mu, pastinya aku sudah tidak berdaya menunggu lebih lama lagi.

Tapi aku ingin bertanya dengan’mu “diboto ho do hasian, boasa busisaon au”?  “boasa malungun rohakku?”, Kalau kamu tau pasti kamu rasakan itu, kalau kamu tau kamu pasti jawab itu, kalau kamu rasakan, kamu pasti kembali untuk’ku, untuk’mu dan untuk semua hari-hari kita yang hilang di telan pulau jawa yang jauh dari hadapan’ku.

Aku menunggu’mu, dan jangan biarkan busisaon jala malungun membunuh seluruh semangat’ku, jangan biarkan busisaon jala malungun, membunuh akal sehat’ku, dan jangan kamu biarkan aku harus menunggu lebih lama lagi. Jika itu terjadi, maka kamu tidak pernah merasakan apa yang terjadi dengan’ku.

Jika aku tau kabar kapan kamu kembali, maka sedikit-sedikit rasa busisaon jala malungun akan terkikis dari hati dan pikiranku. Jika sudah tau kabar kapan kamu kembali, ingin rasanya memutar waktu lebih cepat, agar hari-hari dan malam cepat berlalu, menuju waktu kamu kembali dengan senyuman dan suara’mu yang manis, wajah dengan lesung pipimu yang khas, dengan rambut’mu terurai hitam tanpa ditutupi apapun diatas mahkota indah’mu.

Jakarta, 24,  Juni 2014

* Penulis adalah :
   Pengagum Cinta dan Kebebasan

Tidak ada komentar