MAWAR & SEGELAS HOT COKLAT
14 Juni 2014 pukul 15:56
Juson J. Simbolon, ST, A.Mf*
Saat pertama, di
tengah gerah siang, busana batik merah orange bercorak kembang menutupi
lingkar dadanya yang hampir mengembang. Meski saat itu, sedikit wajahnya
tidak bersahabat, dengan salam jabat ujung jemarinya, seolah pertanda
ketidaksudiannya berkenalan dengan’ku. Tapi cukup sudah bibirnya yang
merah merona, merepotkan pikiran dan penasaranku yang amat dalam.
Sekalipun dia hadir dalam kegersangan situasi, namun hatiku tetaplah berhati-hati. Sebab kala itu, dia selalu hadir bagaikan “lepat dan daun” bersama teman laki-lakinya di beberapa kesempatan. Lirih wajahnya penuh pesona, dipadu kulit putih bercak merah di ujung keningnya, halus lesung pipinya yang mungil, berurai rambut hitam menutup sebagian pundaknya. Simiotika tubuhnya mampu mengerakkan seluruh adrenalin jiwaku yang kosong, merongrong jiwaku yang keropos dimakan waktu usia pasti.
Tanpa
kusadar, latah telinga dan bibirku menginginkan informasi tentangnya,
mengisyaratkan ada kesan romantic yang akan hadir dalam hidupku, setelah
puluhan tahun tertutup untuk kisah indah adam dan hawa. “Apakah aku
jatuh cinta?” tanyaku dalam hati kecil tersipu malu, sepanjang perjalan
di atas aspal hitam penuh pekat . “Ataukah aku akan melihatnya lebih
lama lagi?” tanya dan harapku penuh gelisah.
Tak terasa,
hampir satu bulan berlalu, menapaki hidup penuh rasa penasaran. Tepat di
penghujung malam, mimpi indah bersamanya telah menghipnotis seluruh
mata dan hatiku, jauh melayang, indah melampaui kata-kata. Saat fajar
menyambut dengan kehangatan, aku terdiam di sudut tempat tidur,
mengingat wajahnya yang belum bersahabat dengan memori’ku.
Anganku melayang diatas cerah pagi, membayangkan nada sapaanya, dan tutur katannya yang khas penuh kelembutan, berayun bagikan prosa cinta penuh asmara. Terbayang pula ujung jarinya yang halus, bersama kuku lentik bagaikan ratu di singgasana tahta kerajaan.
Anganku melayang diatas cerah pagi, membayangkan nada sapaanya, dan tutur katannya yang khas penuh kelembutan, berayun bagikan prosa cinta penuh asmara. Terbayang pula ujung jarinya yang halus, bersama kuku lentik bagaikan ratu di singgasana tahta kerajaan.
Rasa simpatiku
semakin membaja, sekuat karang menghalau obak. Kala itu, sebuah
momentum kekacauan terjadi di sekitar kami, perang phisikologis diantara
para sabahat, membara membakar semangat hingga diburu emosi yang
kompleks.
Imajiku selama dilanda penuh rasa hati-hati,
tiba-tiba terguncang, berbalur dekap kagum atas suaranya yang lantang,
mengajukan pendapat sembari mengacungkan ponsel ditangannya, menyikapi
persolan yang akut. Sekejab anganku melabung ke taman impian, taman
mawar penuh kumbang, dengan duri-duri tangkai yang tajam. Situasi itu,
menggerakkan batinku berbisik pelan ”hey ratu, ku’ingin kau jadi mawar,
mawar merah untuk seluruh hari-hari indah penuh cinta dengan’ku”
Seketika
saja, deras mengalir dan mendidih darah inspiratif imaji asmara dalam
jiwaku, menohok wanita penuh kelembutan namun bernada ketegasan. “Adakah
engkau wanita yang hadir ditengah indah tidur malamku? “Ataukah kau
wanita yang akan mengisi ruang kosong sisi jiwaku?” Itu pertanyaan yang
selalu mengikuti’ku sepanjang hari menjelang malam, dari petang
menjelang fajar, bergerak statis, seolah telah menjadi bandul dalam
imaji dan nilai-nilai humanisme dalam hidupku.
Suatu hari
di waktu sore, saat ramai berbincang para pejantan, membahas komposisi
pejabat tak berbakat, dalam sebuah kumpulan keangkuhan. Kali itu, engkau
hadir sendiri tepat dihadapan’ku, berbusana layaknya wanita karir
menuju kantor penuh kesibukan.
Warna hitam, warna
kesukaan’ku membalut sebagain besar putih kulitnya, berpadu rok setengah
jengkal diatas lututnya, duduk persis disebelah kanan’ku. Sesekali
wajahnya ku’lirik diam-diam, hingga memberanikan hatiku untuk berbicara
dengan riang, bergurau penuh canda dan tawa, girang seolah aku menemukan
oase di tengah hamparan gurun pasir yang panas.
Tatap mata’ku tidak berhenti penuh makna, meski seorang sahabat karib selalu mengingatkan’ku dengan protes kecil penuh canda, namun hingga diskusi berakhir di ujung senja, naluriku tetap berkata, “tataplah dia yang akan kamu cinta”
Tatap mata’ku tidak berhenti penuh makna, meski seorang sahabat karib selalu mengingatkan’ku dengan protes kecil penuh canda, namun hingga diskusi berakhir di ujung senja, naluriku tetap berkata, “tataplah dia yang akan kamu cinta”
Ratu,
aku tidak pintar merayu, tidak berbakat bermain perasaan, tidak
mengerti berpura-pura, tidak cukup lihai membaca hati, dan tidak pula
terlalu berani untuk mengajakmu bersantai di suatu sore. Saat itu, aku
hanya diam melihat‘mu pergi melaju diatas mobil’mu, meski hasrat’ku
ingin mengucapkan sepatah kata, sebelum kamu berlalu meninggalkan’ku.
Aku
ingin sekali bicara, ingin sekali bersama, tapi aku tidak cukup berani
kala itu. Meski aku menyesal saat pisah tanpa kata, tanpa upaya, tapi
keyakinan’ku atas kekuatan cinta dalam hidupku, telah mengubah
bayang-bayang bersalah menuju optimisme bersama’mu suatu saat kelak.
Setelah
semua menghilang di pekatnya sore, akupun harus pergi dengan
banyang-bayang wajah’mu yang manis, bersama bayang rasa bersalah yang
tak tersesali. Sekejab saja, rasa bersalah itu mendapati energy saat
poseku bernyanyi dengan nada penuh pesan “Boys Don’t Cry sebuah lagu The
Cure yang selalu menjaga bulir air mata’ku, agar tidak berurai
dipipi’ku, saat situasi sulit apapun menghampiri dialektika hidupku. Dan
nada itu, seolah menegaskan bahwa dia telah hadir kembali, jangan
bersedih, jangan menyesal, terimalah suaranya yang lembut penuh cinta
dan canda.
Sepanjang jalan, dari Timur Jakarta menuju
selatan Ibu Kota, aku bagaikan bersama wanita menyusuri angkuhnya
jalanan penuh kemacetan, namun terasa berada di antara pepohonan rindang
nan hijau, ditemani angin semilir berbisik pelan.
Tertawa dan bercana dari ujung telepon dalam genggaman, menimbulkan rasa yang kaku menjadi cair, mencair dalam romantika asmara dengan wanita pujaan. Walau dia bercerita tentang perjalanan yang salah, tapi sepertinya situasi itu telah mendukung segalnya menjadi penghubung akan jiwa-jiwa yang menyala, menyala dalam cinta yang bersahaja.
Tertawa dan bercana dari ujung telepon dalam genggaman, menimbulkan rasa yang kaku menjadi cair, mencair dalam romantika asmara dengan wanita pujaan. Walau dia bercerita tentang perjalanan yang salah, tapi sepertinya situasi itu telah mendukung segalnya menjadi penghubung akan jiwa-jiwa yang menyala, menyala dalam cinta yang bersahaja.
Dipenghujung kata
dalam ponsel’ku, aku hanya berujar dalam hati, “hati-hati sayank,” kita
pasti akan dipertemukan oleh kekuatan cinta yang hadir dari rasa dan
pengertian, dan semestinya segalanya menjadi nyata! “Adakah engkau akan
memeliharanya ratu, atau akankan engkau jadi mawar yang layu meski
selalu aku sirami ?”
Jawablah, jawab dengan nada penuh kejujuran, agar keberanianku mengecup keningmu hadir tanpa dipaksa, karena bagi’ku kamu adalah wanita, yang harus saya tempatkan sebagai mitra, bukan pula hanya karena asmara, tapi sejatinya hanya karena cinta, dengan harapan engkau jadi mawar yang indah, seindah pelangi membentang diatas samudera. Terimalah, bahwa cinta bagiku berfilosofi pengertian, termanifestasi dalam kekuatan nyata, bukan kata, apalagi pura-pura.
Jawablah, jawab dengan nada penuh kejujuran, agar keberanianku mengecup keningmu hadir tanpa dipaksa, karena bagi’ku kamu adalah wanita, yang harus saya tempatkan sebagai mitra, bukan pula hanya karena asmara, tapi sejatinya hanya karena cinta, dengan harapan engkau jadi mawar yang indah, seindah pelangi membentang diatas samudera. Terimalah, bahwa cinta bagiku berfilosofi pengertian, termanifestasi dalam kekuatan nyata, bukan kata, apalagi pura-pura.
Jakarta, 25 Mei 2014
*Penulis adalah:
Pengagum Cinta dan Kebebasan
Post a Comment