MEMORI INDAH O1, 810, 911 PENTING KITA INGAT
14 Juni 2014 pukul 15:39
Ini
tentang kekuatan cinta yang tidak mungkin hilang ditelan peradaban
manusia, yang tidak akan hilang oleh jarak dan waktu, namun dia akan
hilang ketika azal telah tiba, namun dia akan tetap abadi dalam goretan
sejarah memori kehidupan.
Semua bermula dari rasa, rasa
nyaman dalam tawa dan canda. Hingga menyatu dalam keinginan yang nyata,
melukiskan kisah abadi dengan “tinta putih tak bernoda” Tinta putih
seputih bisik hati kecil’ku menyambut datangnya bidadari di gelapnya
hari, seputih tubuh’mu yang kontras dengan warna gosong tanganku,
menghitam dibakar teriknya matahari ibu kota.
Aku tidak
tau, apakah warna kulit menjadi pilihan yang mungkin menentukan dalam
hidupmu? Saat itu saya tidak terlalu perduli, dan sama sekali tidak
tahu, apakah warna jari-jariku yang hitam akan kamu putihkan dengan
cairan bayclean, atau cairan kimiawi asam sitrat pembersih porselen
kamar mandimu? Sehingga akan menyerupai jemari lentik’mu dengan putih
halus saat kugenggam dengan kerinduaan? Itu pertanyan yang tidak perlu
dijawab meski realitas telah menjawabnya.
Saat itu, saya
hanya mendengar canda tentang itu, karena bagiku hitam dan putih hanya
soal warna, bukan pertanda sikap dan pribadi seseorang. Dan saya percaya
hitam dan putih akan hilang diselimuti oleh warna-warna cinta dan
keabadian yang lahir dari ketulusan hati. Maka biarlah dia menjadi
hitam, karena hitam juga warna, biarkanlah dia putih, karena putih juga
bisa terlihat di terangnya siang, dan mari kita biarkan hitam dan putih
menjadi satu.
Setelah hitam dan putih menyatu dalam dalam
genggaman, genggam erat kesepuluh jemari kita dengan mesra. Pertanda
kita telah satu dalam warna baru, warna kehidupan yang hadir dari
pertautan hati dua insan adam dan hawa. Biarkanlah warna itu menjaga
hati kita, mengikat kita dalam mengarumi terjalnya kehidupan, melampau
semua batas dan jarak, melampaui semua kata-kata dan puisi. Dan kita
akan mengukirnya di kesempatan yang indah, dengan nomor-nomor memori
permulaaan, kita melukis dengan tinta putih tak bernoda.
Sungguh
saat itu aku tidak menginginkan apapun yang indah darimu, ketika
perhelatan itu hamper batal. Aku hampir frustasi kala kabar engaku tidak
hadir, aku merasa perjalanan tanpa arti ketika harus pergi tanpa kau
disampingku. Tersiar kabar engkau harus pergi mengantarkan pemilikmu
untuk tugas ke USA. Hatiku gemetar, bayangan suasana indah cerita
menjalin cinta akan hilang di Kota dingin ketika malam telah tiba.
Meski
aku tidak percaya dengan kabar itu, tapi cukup menguncang seluruh
keyakinan’ku akan sikapmu di beberapa kesempatan sebelumnya. Hatiku
bertanya, mungkinkah aku telah terjebak yang ke sekian kalinya atas
permainan perempuan? Hatiku terus bertanya, dahiku mengerut, mataku
serasa panas, jantung’ku berdenyut kencang, bertanya dalam hati, kenapa
aku begitu bodoh membaca hati, mengapa aku begitu lugu dalam melihat
sisi lain wanita. Aku terduduk kaku di pojok ruang kecil, mendekat dalam
kibasan kipas angin atas tubuhku yang hampir mendidih.
Hati
dan pikiranku yang hampir kesal, marah atas kebodohanku sendiri,
berusaha untuk tegar, mengkonfirmasi sahabat si pemberi kabar, dan
kadang tanpa ragu meminta penjelasan langsung kepada dia yang aku
tunggu, dia yang jadi harapan dan semangat baru dalam hidupku, jawaban
tak pasti telah menlambungkan aganku atas rencana indah akan gagal malam
nanti.
Sejujurnya aku tidak menginginkan apapun ketika
malam telah tiba. Aku hanya ingin menikmati segelas “wine” berdua
bersama’mu, dibawah atap langit dan dingin embun malam, hingga fajar
tiba. Bercerita tentang kisah hidupmu dan hidupku jauh sebelum kita
bertemu di tengah-tengah kelompok uniform hitam yang sedikit sombong
itu.
Impian itu sungguh tidak terjadi, sebuah janji tidak
tertepati. Jati Mas 01, nomor pertama sekaligus nomor penyesalan awal
bagiku atas lukisan cinta kita diatas rebah jiwa yang haus akan
pengertian, lahir dari keinginan bersama. Nomor yang membingunkan
sekaligus jenaka dalam melihat sisi lain hidupmu, tapi dia telah menjadi
nomor permulaaan hingga kita sampai ke nomor-nomor berikutnya.
Jati
Mas 01, kamu begitu kaku saat itu nona, hampir seluruh gerak tubuhmu
kaku, membatu dalam rasa, berguling tanpa ekspresi. Menjauh, namun
mendekat saat lembut tangan dan bibirku mendekap dan kecup tubuhmu yang
dingin, ditengah hening malam menjelang pagi.
Disana kita
bubuhkan lukisan indah itu pertama sekali, setalah satu malam tanwa
canda kita menghindar dari kejaran para sahabat, bersembunyi dalam
remang cahaya lampu, hingga mati dalam gelap bercampur desah nafas kata
sayank dari bibirmu yang mungil. Sehingga memacu kita larut dalam
kenakalan penuh nikmat berbuah penyesalan.
Kamu marah,
ingin pulang, dan mencoba menghindar dariku, membuat hati dan pikiranku
kacau, aku menyesal. Ingin memohon maaf, tapi seagalnya telah terjadi.
Aku hanya berusaha untuk menyakinkanmu, bahwa semua itu karena kekuatan
cinta yang aku miliki, kekawatiranmu pasti tidak akan terjadi, dan
bagiku kamu adalah belahan jiwa yang hadir dalam kehidupan gersang
duniaku.
Akhirnya, segala kekakuan menjadi cair, mencair
dalam perjalanan cinta yang saling terbuka, mengerti dan menerima apa
adanya tanpa basa-basi. Meski sesekali dia berusaha untuk menghindar,
tetapi pengalaman baru di 810, hingga 911, telah berubah seiring
perjalan panjang menembus makna. Dan dia tidak lagi kaku, lurus dan
membatu, tetapi telah mencair dan dalam goyang pinggul penyanyi dangdut
bersama deraian dan siraman shower hangat di sekujur tubuhnya.
“Sayank,
aku akan terus menyimpanya dalam otak’ku sendirian, nomor-nomor
bermakna itu yang hanya diketahui oleh kita berdua, dan aku akan
mengajak sekaligus berseru kepada’mu “memori 01, 810, 911 penting kita
ingat! Karena disana ada kekuatan tulus, mengiringi hidup kita dalam
kebahagiaan cinta yang tidak saling memaksa. Mencintai’mu adalah
menempatkan’mu sebagai mitra hidup yang paling bermakna. Disemai dalam
kejujuran, ditanam dalam lembut sanubari pengertian, disirami dengan
perhatian dan ketulusan. “Dan aku berharap suatu saat kita melukis lagi
nomor-nomor memori indah berikutnya sayank”, itu bisik kecil dan
harap’ku mengakhiri catatan ini.
Jakarta, 02 Juli 2014
*Penulis adalah :
Pengangum Cinta dan Kebebasan
Post a Comment