MENDUKUNG ANAK MANDIRI SEJAK DINI

Juson Simbolon, ST*

Selamat pagi/siang/sore/malam buat Bapak/Ibu tercinta, mohon maaf jika ucapan salam ini, saya tuturkan dengan beberapa waktu, karena saya tidak memiliki keyakinan pasti, bahwa saat kapan Tulisan ini Bapak/Ibu atau siapapun punya kesempatan membacanya. Saya sangat berharap Bapak/Ibu atau siapapun yang membaca tulisan ini dalam Lindungan Tuhan Yang Maha Esa.


Permohonan maaf saya yang kedua adalah, permohonam maaf atas keberania saya menulis artikel ini, khususnya dengan mencantumkan nama sekolah. Sejujurnya, tulisan ini berangkat dari rasa bahagia di hati saya yang paling dalam. Tulisan ini bukan bertujuan untuk membuat perasaan kita tidak enak, tetapi merupakan salah satu wujud sikap berbagi yang saya miliki. Seperti yang kita yakini bersama, bahwa hidup haruslah berbagi, termasuk berbagi pengalaman dan pendapat.

Bukan pula tulisan ini berusaha untuk mendeskreditkan sekolah atau siapapun, ini hanya bentuk rasa syukur saya, saran-saran saya, serta harapan saya akan sekolah, tentu saja harapan-harapan anak saya di SD Strada Van Lith II, mungkin juga harapan anak-anak yang lain di seluruh cabang Strada, atau sekolah lain dimanapun berada.

Baiklah, mohon ijinkan saya untuk memulainya. Sejak pernikahan kami beberpa tahun lalu, saya sangat bersyukur atas segala hal telah yang dititipkan Tuhan kepada saya dan keluarga. Khususnya kesempatan yang Tuhan berikan untuk mengasuh kedua anakNya.

Selain syukur atas kesehatan selama ini, dalam minggu-minggu ini yang membuat saya sangat bahagia adalah tepat tanggal 14 Juli 2014, anak pertama saya memulai Sekolah Dasar di Sekolah Strata Van Lith II Duren Sawit, Jakarta Timur. Sekolah ini merupakan sekolah yang sangat saya percaya dan banggakan. Maka sejak Taman Kanak-kanan (TK), saya sudah percayakan anak pertama saya dibimbing iman dan mentalnya di sekolah Strada di Duren Sawit, tepatnya TK St. Anna. Hingga dia beranjak SD, saya tidak pernah berfikir untuk pindah atau cari sekolah lain, meskipun secara financial, saya tidak terlalu cukup dibandingkan orang tua lainnya.

Tetapi saya berkeyakinan, dana yang mampu saya berikan sebagai iuran sekolah setiap bulannya, pasti sebanding dengan pendidikan yang akan diperoleh anak-anak saya selama dibimbing di sekolah TK Strada St. Anna dan SD Strada Van Lith II Duren Sawit. Itu merupakan salah satu factor yang membulatkan tekad saya untuk berusaha dan berjuang diiringi doa, mendaftarkan kedua anak saya berseoklah di TK Strada St. Anna dan SD Strada Van Lith II Duren Sawit, dalam tahun masuk yang bersamaan.

Oleh karenanya, tanggal 14 Juli 2014 menjadi hari bersejarah bagi kedua anak saya. Tentu saja bagi kami kedua orang tuanya. Bersekolah di Strada menjadi kebanggaan tersendiri bagi saya, yang memiliki ekonomi pas-pasan. Juga menjadi harapan dan keyakinan, bahwa anak-anak kami telah masuk dalam sekolah yang tepat, di tengah gencarnya kekawatiran para orang tua, melihat pemberitaan tentang persoalan sekolah yang akhir-akhir ini marak diberitakan di televisi.

Sejak TK St. Anna, anak pertama saya selalu bercerita tentang keramahan semua guru-guru, para pegawai TK, teman-temannya yang menagis, teman bermain, maupun yang sakit kepada saya saat-saat pulang bekerja. Saya selalu tersenyum, puas dan syukur atas semua perkembangan psikologis anak saya.

Banyak pula nyayian baru yang dia ketahui, juga kegiatan-kegiatan sekolah, serta permainan baru yang selalu dia pamerkan kepada saya. Semua itu telah membangun semangatnya untuk rajin pergi ke sekolah setiap hari. Bahkan saat anak-anak seusianya asyik bermain kala akhir pekan, dia tidak terpengaruh untuk malas pergi ke sekolah. Baginya bertemu teman-temanya, dan guru-guru di Strada jauh lebih mengasyikan.

Selain semua cerita-cerita seru di atas, yang sangat menarik perhatian saya adalah, keinginan anak saya untuk selalu duduk di bangku baris depan, persis di depan meja Guru atau berada di barisan bangku paling depan. Saya sangat terharu, saat dia bercerita tentang keinginannya tersebut yang selalu diungkapkan berulang-ulang. Padahal, jika saya amati sehari-hari, anak saya tidak termasuk pemberani dalam hal berbicara dengan orang lain, atau tidak mudah akrab dengan orang dewasa. Dia justeru tipe anak-anak yang akrab setelah beberapa saat bersama.

Suatu ketika saya bertanya ”kenapa harus duduk di depan atau dekat ibu guru bang” ? Dia menjawab “kan biar kedengaran Ibu gurunya “ngomong” papa, di belakang digangguin teman-teman”. Jawaban itu selalu aku ingat dan perhatikan hingga dia beranjak Sekolah Dasar.

Berpedoman dengan keinginannya saat TK, saya dan istri kembali bertanya saat-saat menjelang masuk SD. “Bang kalau SD, mau duduk di depan juga?” Dia menjawab “ia, abang maunya di depan, biar dengar ibu guru”.

Memahami keinginan anak saya yang begitu kuat, saya dan istri berusaha mengantarnya lebih awal pada saat masuk perdana SD Strada Van Lith II, tepatnya pada tanggal 14 Juli 2014. Kami mengantarnya hingga ke depan ruangan kelas I. Suasana masih belum terlalu ramai, tanpa kami harus masuk dalam ruangan, kami memintanya untuk memilih tempat duduk yang dia inginkan, dan tepat di depan meja guru, baris pertama dia pilih dan duduk. Hingga 15 menit kami menunggu, kamipun memutuskan untuk pergi meninggalkanya, karena dia sudah cukup terbiasa ditinggal selama satu tahun, saat masih duduk di TK. St Anna. Bahkan dia sudah terbiasa pula diantar dan di jemput sendirian oleh mobil jemputannya selama TK.

Setelah masuk dalam ruangan dan merasa selesai membantu keinginanya untuk mendapatkan tempat duduk paling depan, saat itu pula kami sudah mempercayakan semua aktivitas belajarnya akan dituntun oleh para guru dan pegawai sekolah, termasuk mendidiknya agar lebih mandiri. Maka tugas saya selanjutnya, pergi ke kantor dan istri ke Sekolah TK St. Anna untuk mengantar adeknya yang juga masuk TK Perdana saat itu.

Seharian aktivitas di kantor, saya sedikitpun tidak merasa ada masalah dan tidak ada rasa kawatir atas anak saya. Perasaan saya, hanya ingin cepat-cepat pulang setelah jam kantor selesai, untuk sesegera mungkin bertemu dengan kedua anak saya. Ingin sekali mendengar cerita mereka berdua, bagaimana pengalaman pertama mereka masing-masing di sekolah barunya.

Setelah pukul 18.30 WIB saya tiba di rumah, seperti biasanya kedua anak saya selalu datang menghampiri hingga ke teras rumah, saat mereka mendengar saya telah kembali dari tempat kerja. Tanpa pikir panjang, mereka saya peluk dan ajak duduk di ruang tamu untuk bercerita bagaimana mereka di sekolah.

Dimulai dari yang pertama, biasanya dia pasti memulai pembicaraan dengan beberapa mainan baru yang dia miliki. Sifat demikian dapat saya maklumi, sebab dia laki-laki yang sangat gemar dengan berbagai jenis mainan. Selanjutnya saya coba sedikit bertanya, “gimana bang, enak di SDnya?” Dia dengan semangat bercerita, begini ”tadi abang belum belajar kok, ibu guru bilang cuma cerita dulu.”

Saya coba kemballi menggali pengalamannya dengan pertanyaan lanjutan”abang senang sekolah disana?” “ia senang baget papa, ada teman TK abang juga”. “Terus apa lagi?” tanyaku dengan penasaran sambil senyum-senyum bangga” “abang duduk di depan ibu guru, di depan banget, terus duduk di situ” “Kamu mau terus duduk disitu? Tanya’ku meyakinkan “Ia papa, biar dengarin ibu guru, di depan gak diganggu teman, biar pintar” begitulah jawaban sekaligus cerita sekolah perdananya yang buat saya begitu terharu.

Sembari mengusap rambutnya, saatnya kepada anak kedua, yang duduk di pangkuan sebelah kanan saya, “kalau adek gimana tadi di TK ?” “adek juga duduk di depan” “terus apa lagi boru? Tanyaku penasaran” “adek disuruh ibu guru, nyanyi kedepan” “terus adek mau?” “ ia mau, gak takut koq adek” “nyanyi apa nak?” “satu-satu papa” sambil memberikan applause, saya berujar “harus berani ya boru” (boru = sebutan bagi anak perempuan suku batak). “Ia papa, tapi tadi adek nagis” ujarnya menyambung. “Lho kenapa boru?” Aku bertanya sembari tersenyum” “gara-gara mama pergi”. “Emang mama kemana?” “ga tau adek”. Dengan nada menyakinkan saya berujar pelan, “ya uda jangan nagis donk, harus berani, nanti harus mau ditinggal, sama ibu guru dan teman-teman aja di TKnya.” Dengan nada singkat dia menjawab “ia papa”.

Untaian percakapan di atas telah memupuk semangat dan kebanggaan saya atas sekolah Strada Duren Sawit, sekaligus tumbuh kembangnya harapan terhadap kedua anak saya. Saya berharap hari-hari seperti permulaan mereka bersekolah, terus berlanjut dan semakin membawanya ke arah sikap mandiri.

Pada hari ke dua bersekolah, tepatnya tanggal 15 Juli 2014, saya dan istri ingin memastikan kembali agar anak saya tidak salah kelas, mengingat di sekolah sangat banyak orang tua yang antar anaknya masing-masing, juga para guru dan pegawai sekolah belum berada di sekitar ruang kelas.

Sesampainya di depan ruang kelas, anak saya masuk dalam ruangan tanpa harus kami temani, namun tiba-tiba langkahnya terhenti sejenak, sepertinya dia bingung kenapa tempat duduknya justeru di isi oleh orang lain, oleh seorang Bapak sedang menemani anak perempuannya. Anak saya mendekat, tetapi dia hanya diam tanpa berbicara sedikitpun, dia berusaha melihat kami, seolah ingin megadu dan meminta dukungan, tapi kami berusaha untuk menghindar. Sebab saya sudah putusakan, dan ingin mengajarinya, bahwa apapun yang dia pilih, dia sendiri yang memperjuangkannya. Saya berusaha untuk tidak mendekat, dan tidak berusaha berkomunikasi kepada Bapak tersebut.

Saya paham, pasti dia sangat kecewa, karena sejak awal dia sudah memutuskan duduk di tempat duduk yang dia pilih sejak kemarin hari I (pertama) bersekolah, yang dia banggakan kepada saya kemarin sehabis kerja. Tempat duduknya, ternyata sudah di isi oleh orang lain bersama orang tuanya. Saya yakin pula bahwa sikap diamnya akibat “tidak berdaya” melihat salah satu orang tua duduk di tempat yang dia pilih sejak hari pertama.

Walau saya bukan seorang psikolog anak, tapi saya paham betul bagaimana anak saya dan mungkin juga anak-anak kebanyakan, jika berhadapan dengan orang dewasa yang tidak dia kenal, pasti akan merasa takut untuk menyampaikan keinginannya dan pasti memilih diam. Situasi ini bagi saya “sangat tidak adil” bagi anak-anak, bagi saya ini sudah merampas hak-hak anak secara tidak langsung oleh orang dewasa.

Meskipun begitu kenyataan yang dia peroleh, kenyataan adanya orang tua yang mengabaikan hak-hak anak lain dalam lingkungan dan ruangan anak-anak, khususnya Sekolah Dasar, saya tidak berusaha untuk membantunya. Karena saya paham, semakin banyak terlibat dalam semua urusan sekolah barunya, akan semakin membuatnya tidak percaya diri, dan akan memperlama proses adaptasi menuju kemandiriannya.

Saya perhatikan dari celah pintu, setelah beberapa menit dia berdiri, akhirnya dia memutuskan memilih bangku depan yang kosong persis di dekat pintu. Di barisan bangku  tersebut telah duduk, seorang anak perempuan, yang juga ditemani oleh oleh ibunya sambil berdiri menunggu jam belajar dimulai. Setelah melihat dan memastikan dia duduk, saya dan istri kembali ke aktivitas masing-masing.

Memang ruangan saat itu sangat “aneh”. Jauh berbeda dengan hari pertama. Dari luar kelas saya memperhatikan se-isi ruangan dan saya “kaget” banyak sekali orang tua duduk dan berdiri dalam ruangan SD kelas I. Ada apa ? tanya’ku dalam hati, ternyata para orang tua tersebut mengantar dan menemani anaknya hingga jam belajar dimulai.

Inilah sebuah “keanehan” dalam dunia pendidikan kita dewasa ini, sikap para orang tua yang berlebihan terhadap anak-anaknya. Padahal, hampir dapat dipastikan bahwa semua anak yang masuk SD di perkotaan sudah menempuh jenjang Play Group, TK hingga masuk SD. Mestinya semua anak tidak harus ditemani atau ditunggui di ruang kelas hingga jam belajar dimulai. Karena pengalaman selama 1-2 tahun di jenjang sebelumnya, semestinya sudah dapat dijadikan modal dasar dalam mendidik anak agar lebih mandiri. Sikap orang tua yang over seperti itu telah merampas hak-hak anak yang lain. Juga memperlambat masa adaptasi dan sosialisasi anak dengan sesama anak-anak di sekolah.

Sekadar memori dan perbandingan, masih ingat waktu saya masuk kelas I SD Negeri di tempat lahir saya 27 tahun lalu, saat itu tidak seorang-pun orang tua masuk hingga ruang kelas. Artinya ada perbedaan antara masyarakat kota dan masyarakat desa tentang karakter dan pola kepercayaan orang tua terhadap peran pihak sekolah. Semestinya, anak-anak setelah berada di lingkungan sekolah menjadi tanggung jawab pihak sekolah dan anak-anak itu sendiri.

Situasi seperti di utarakan di atas, mengingatkan saya sebuah tulisan sekaligus artikel teman saya 2 tahun yang lalu. Saat itu, dia harus tugas dan pindah bersama seluruh anggota keluarga ke Prancis. Dia bersama anaknya yang sudah berusia kira-kira 5 tahun lebih (saya lupa pastinya berapa). Karena kedua orang tuanya harus bekerja, mau tidak mau dia harus mendaftarkan anaknya ke sebuah sekolah, semacam TK di Indonesia. Sebuah sekolah tempat anak-anak warga Negara asing yang bekerja di daerah tersebut juga buat anak-anak penduduk setempat.

Sejak awal dia bingung dan sangat khawatir, bagaimana dia harus mendaftarkan anaknya di sekolah dengan budaya berbeda, warna kulit berbeda, dan tentu saja anaknya pasti tidak mengerti bahasa yang digunakan. Itulah kegelisahan yang selalu membayangi-nya. Mungkin juga, jika kita dalam situasi tersebut pasti sangat khawatir dan bingung tujuh keliling. Tetapi, karena faktor budaya dan desakan situasi, dia nekat mendaftarkan anaknya, dan pasti si anak akan merasa seolah masuk dalam rimba yang tidak dia kenal sama sekali.

Singkat cerita, hari pertama setelah diantar hingga ke pintu gerbang sekolah dan disambut oleh pihak sekolah, anaknya menangis sampai se jadi-jadinya. Kita bisa bayangkan bagaimana anak menangis ketakutan, anda juga pasti sangat sedih dan ter iris hatinya melihat anak kita mengais terisak-isak ketakutan. Akhirnya hari pertama si orang tua tidak tega meninggalkan anaknya, dan membawa kembali ke apartemen dengan memilih tidak bekerja.

Hari kedua, situasi yang sama tidak jauh berbeda, hingga si orang tua berusaha meminta kepada pihak sekolah agar di izinkan menemaninya hingga beberapa hari ke depan, dengan berbagai alasan-alasan yang mungkin masuk akal bagi kita orang Indonesia. Tetapi karena peraturan dan Standar Prosedur Pelayanan sekolah tersebut tidak memperbolehkan pengantar, maupun orang tua masuk ke dalam lingkungan sekolah apalagi ke dalam kelas, akhirnya semua permintaan dan argumentasi orang tua ditolak dengan tegas. Sampai si orang tua hampir putus asa dan berniat memilih pulang ke Indonesia, meninggalkan seluruh kesempatan kerja yang menjanjikan bagi masa depan keluarganya.

Di tengah memilih dan menimbang antara memilih pulang ke Indonesia, atau membayangkan dan mengiklaskan tangis dan air mata anaknya, dengan sedikit kecewa penuh khawatir, si orang tua meminta kepada pihak sekolah saran dan hal apa yang harus dia lakukan agar anaknya mau ditinggal bersekolah di tempat tersebut.

Lantas dengan penuh tanggung jawab, pihak sekolah memberikan beberapa tips kepada setiap orang tua yang bernasib sama dengan teman saya tadi, termasuk kepada teman saya juga. Tips-tips tersebut mereka peroleh selama bertahun-tahun mengelola sekolah.

Ada empat tips yang diberikan oleh pihak sekolah. “Pertama; biarkan anak anda menangis untuk kebaikan dan kemandiriannya, Kedua; Jika anda  percaya diri memilih sekolah ini sebagai tempat terbaik bagi anak anda, maka antar dia sampai Gerbang Sekolah, kami akan jamin air matanya tidak akan terurai sampai seminggu lamanya, Ketiga; Biarkan kekhawatiran anak tersebut menjadi kekhawatirannya, jangan menjadi kekhawatiran anda, tidak ada anak-anak yang mati karena menangis, karena itu penting untuk masa depannya, Keempat; Kami akan bertanggung jawab atas seluruh aktivitas dan perkembangan psikologis dan mental anak anda, karena itulah tujuan mulia sekolah ini berada, kami hanya minta alamat email anda, untuk kami kirim dan konsultasi kan beberapa hal mengenai perkembangannya. Untuk itu, salahkan anda memilih bekerja seperti biasa, karena anak anda pasti aman dan nyaman bersama kami.”

Tips-tips meyakinkan tersebut ternyata benar adanya, seminggu hari-hari berat dan kekhawatiran yang dihadapi si orang tua, berangsur-angsur menjadi biasa. Semua komunikasi tentang anaknya diperoleh saat sekolah memberi kabar dan saat orang tua meminta kabar. Dengan begitu, memberi kepercayaan penuh terhadap pelayanan sekolah dan pemanfaatan teknologi semestinya menjadi sikap antara sekolah dengan orang tua, agar tercipta komunikasi yang efektif, dan tentunya tidak mendorong orang tua ikut hingga ke ruang kelas.

Di sini jelas pula, peran sekolah sebagai tempat seutuhnya menjadi tempat pengembangan karakter dan mental anak. Artinya, memberi kepercayaan penuh dan mendapat jaminan penuh dari sekolah harus menjadi sikap bersama antara orang tua dengan pihak sekolah.

Membiarkan para orang tua menunggu di dalam sekolah, apalagi menemaninya hingga ruang kelas, bagai saya sebuah masalah besar terhadap anak-anak yang lain dan anaknya sendiri. Mestinya, sebagai orang tua siswa, kita harus bersikap dan berkeyakinan bahwa kita mengantar anak-anak ke sekolah yang kita pilih dan percayai, bukan ke Terminal Bus atau stasiun Kereta yang harus kita jaga dari tindakan kejahatan.

Untuk itu, jika dilihat dari sejarah panjang Perkumpulan Strada, di mana sejak tahun 1924 telah mengelola lembaga pendidikan, saya berkeyakinan Perkumpulan Strada sudah memiliki akar dan filosofis serta pengalaman yang kuat dalam mengelola lembaga pendidikan. Maka melalui tulisan ini, saya berharap kepada pihak pengelola Sekolah Strada, khususnya SD Strada Van Lith II, agar menentukan Standar Operasional Pelayanan sekolah, termasuk memuat batas antar orang tua sampai gerbang sekolah, dan tentu saja tidak memperbolehkan orang tua masuk dan menemani anaknya hingga ke ruang kelas, meski-pun saat baru masuk sekolah.

Karena kondisi demikian telah menghilangkan kepercayaan kepada anak, kepercayaan kepada sekolah dan meminimalisir fungsi pihak sekolah dalam hal ini guru dan pegawai dalam mengatur anak-anak didik sejak dini dalam menentukan pilihan-pilihan mereka, seperti tempat duduk misalnya.

Yang terpenting dan mendasar pula, tujuan semua saran tersebut adalah untuk meningkatkan pelayanan sekolah serta mendukung sejak dini kemandirian anak. Karena, jika kondisi tersebut terus dibiarkan maka secara tidak langsung telah merampas hak-hak anak atas pilihan-pilihannya sejak dini di sekolah oleh orang tua yang menunggu di dalam ruang kelas, maupun di luar kelas.

Saya berharap tulisan ini menjadi konsumsi internal antara orang tua dan pihak sekolah dimanapun, baik negeri maupun swasta. Saya sebagai orang tua, khususnya murid orang tua SD Strada Van Lith II, sangat berharap respons positif dari pihak sekolah, apakah membalas tulisan ini, maupun menyusun dan mensosialisaikan secepatnya standar pelayanan sekolah kepada seluruh orang tua siswa.

Di akhir tulisan ini, izinkan saya untuk menyampaikan permohonan maaf saya kembali, jika ada kata-kata yang tidak berkenaan di hati bapak, dan siapa pun yang membaca tulisan ini. Yang terakhir, mohon maaf tulisan ini cukup panjang, karena saya tahu pasti akan menyita waktu bapak dan siapa-pun yang membacanya.

Salam Cinta dan Anugerah untuk kita semua..! 
 
Penulis adalah :
§    Orang tua salah satu murid SD Kelas I Strada Van Lith II Duren Sawit, Jakarta Timur
§    Pegawai Swasta salah satu PTS di Jakarta.







Tidak ada komentar