PEMILUKADA & ORIENTASI POLITIK TERHADAP PENINGKATAN PATISIPASI PEMILIH


PEMILUKADA

Pemilihan Kepala Daerah dan Pemilihan Umum adalah prosedur bagi rakyat dari suatu negara untuk memilih wakil-wakil dan Pemimpinnya serta memberikan kewenangan kepada para wakil atau pemimpin tersebut. Pemungutan suara dalam pemilu adalah dasar utama bagi rakyat untuk menajalankan hak demokrasinya. 

Pemilihan Kepala Daerah adalah salah satu bagian penting dalam demokrasi. Secara sederhana, Pemilihan Kepala Daerah adalah cara individu warga negara yang mendiami suatu daerah tertentu melakukan kontrak politik dengan orang atau partai politik yang diberi mandat menjalankan sebagian hak kewarganegaraan pemilih. 

Demokrasi memiliki makna yang variatif karena sifatnya yang interpretatif. Setiap penguasa negara berhak menyebut negaranya sebgai negara demokrasi meskipun nilai yang dianut atau dalam praktek politiknya jauh dari konsep awal demokrasi.  

Dalam UUD 1945 dikatakan bahwa “Kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”, hal ini merupakan defenisi normatif dari demokrasi yang dianut oleh Indonesia. Sebagai salah satu amanat demokrasi maka dilaksanakan Pemilihan Umum.

Pemilukada merupakan rekrutmen politik yaitu penyeleksian rakyat terhadap tokoh-tokoh yang mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah, baik itu Gubernur/Wakil Gubernur, maupun Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota. Dalam kehidupan politik di daerah, Pemilukada merupakan salah satu kegiatan yang nilainya equivalen dengan Pemilihan Anggota DPRD. 

Equivalensi tersebut ditunjukkan dengan kedudukan yang sejajar antara Kepala Daerah dan DPRD. Aktor utama sistem Pemilukada adalah rakyat, partai politik, dan calon kepala daerah. Ketiga aktor tersebut terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam rangkaian tahapan-tahapan kegiatan Pemilukada Langsung. 

Karena Pemilukada Langsung merupakan implementasi demokrasi partisipatoris, maka nilai-nilai demokrasi menjadi parameter keberhasilan pelaksanaan proses kegiatan. Nilai-nilai tersebut diwujudkan melalui azas-azas Pemilukada Langsung yang umumnya terdiri dari langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Sebagai implikasinya proses pelaksanaan tahapan-tahapan kegiatan itu harus menegakkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai objektivitas, keterbukaan, keadilan dan kejujuran.

Pelaksanaan Pemilukada sesungguhnya merupakan tradisi politik dan manifestasi dianutnya paham demokrasi dalam sistem pemerintahan negara kita, serta adanya otonomi daerah yang mengizinkan setiap warga negara yang telah memiliki hak pilih di masing - masing daerah di wilayah Indonesia untuk dapat menentukan kepala daerahnya seperti yang tertuang dalam Pasal 24 ayat (5) UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yaitu “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan. 

Sesuai dengan Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 7 Tahun 2005 Tentang Dukungan Pemerintah dan Pemerintah Daerah Untuk Kelancaran Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, kemudian dilanjutkan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 9 Tahun 2005 maka Pelaksanaan Pemilukada sepenuhnya diserahkan kepada Komisi Pemilihan Umum. 

Provinsi atau Kota/Kabupaten dan pendanaan penyelenggaraan Pemilukada tersebut dibebankan kepada Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah tersebut  Proses demokrasi akan terus berjalan setelah terbentuknya sebuah pemerintahan demokratis lewat mekanisme pemilu demokratis, dimana negara wajib membuka saluran-saluran demokrasi.

ORIENTASI POLITIK
Istilah Partisipasi Politik mengacu pada semua kegiatan orang dari semua tingkat sistem politik, misalnya pemilih (pemberi suara) berpartisipasi dengan memberikan suaranya dalam pemilihan umum, menteri luar negeri berpartisipasi dalam menetapkan kebijaksanaan luar negeri, dan sebagainya. 

Dengan demikian, partisipasi politik dapat diartikan sebagai penentuan sikap dan keterlibatan setiap individu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam rangka mencapai cita-cita bangsanya. Orientasi Politik pemilih ini dapat dikembangkan menjadi tiga. 

Pertama, Orientasi Politik Kognitif, yaitu pengetahuan tentang dan kepercayaan pada Calon Kepala Daerah yang dalam hal ini adalah Walikota Medan. Pada tataran ini, sebagian besar dari kelompok pemilih ternyata tidak mengenal Calon Kepala Daerah tersebut. 

Kedua, Orientasi Politik Afektif, yakni perasaan terhadap simulasi pemilu, pengaruh luar (eksternal) pada saat penentuan pilihan, dan antusiasme pada Pemilukada 2015. Ketiga, Orientasi Politik Evaluatif, yaitu keputusan dan pendapat pemilih terhadap pasangan calon pilihan; penyelesaian persoalan ekonomi, politik dan keamanan oleh Walikota terpilih; keamanan, ketertiban dan kerahasiaan pemilu; serta keterlibatan dalam kampanye Pemilukada. 

Adanya kecenderungan Orientasi Politik seperti itu merupakan peringatan bagi partai politik dan pasangan calon untuk lebih meningkatkan pelaksanaan beberapa fungsinya yang selama ini terabaikan dan hanya di jalankan menjelang pelaksanaan pemilu. Salah satunya adalah pembenahan sistem perekrutan anggota partai politik, agar kader yang dimiliki benar-benar berkualitas dan berbakat sebagai pemimpin. 

Proses ini semestinya dilakukan jauh sebelum pelaksanaan Pemilukada, agar para Calon Kepala Daerah yang diikutkan dalam Pemilukada lebih dapat dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat. Faktor Lain adalah penolakan atau ketidakpuasannya terhadap kinerja elite politik di pemerintahan maupun partai dengan cara menjadi golongan putih. 

Sementara bentuk partisipasi politik yang kedua biasanya terkait dengan aspirasi politik seseorang yang merasa diabaikan oleh institusi demokrasi maka ia menyalurkannya melalui protes sosial atau demonstrasi. Wujud dari protes sosial seperti boikot, mogok, petisi, dialog, turun ke jalan, bahkan merusak fasilitas umum.

PARTISIPASI PEMILIH
Sebuah kehidupan bangsa yang demokratis selalu dilandasi prinsip bahwa rakyatlah yang berdaulat sehingga berhak terlibat dalam aktifitas politik, walau disadari betul partisipasi rakyat secara penuh dalam seluruh proses politik mustahil dilakukan pada masa sekarang ini akibat dari lambannya proses perbaikan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat sehingga menimbulkan kejenuhan bagi pemilih yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). 

Pemilihan Kepala Daerah Kota Medan 2015 diikuti hanya 2 (dua) pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota. Dari kedua pasangan calon tersebut tidak ada satu pun pasangan calon yang mampu meraih 30 % suara masyarakat. Sehingga menimbulkan efek pada tingkat partisipasi masyarakat. 

Efek negatif yang ditimbulkannya yaitu kejenuhan di masyarakat adalah factor datang ke TPS untuk memberikan hak suaranya. sehingga antusiasme masyarakat untuk memberikan suara berkurang, hal ini dikhawatirkan akan menambah angka golongan putih. 

Sementara di lain pihak ada juga efek positifnya karena pasangan calon yang maju berasal dari Suku, Agama, serta Ras yang berbeda maka masyarakat berbondong bondong datang ke TPS untuk memberikan suaranya kepada pasangan yang memiliki kesamaan dengan pemilih agar pasangan calon tersebut memenangkan Pemilukada. 

Partisipasi Politik berhubungan erat dengan stabilitas politik. Semakin tinggi partisipasi politik masyarakat maka pelembagaan politiknya akan semakin baik sehingga tercipta stabilitas politik. Dalam jangka pendek kestabilan politik lebih banyak ditentukan oleh kewibawaan pemerintah. 

Maka partisipasi itu sangat penting untuk menciptakan kewibawaan pemerintah, yaitu komposisi pemerintah yang paling banyak didukung masyarakat akan semakin memiliki wibawa. Jika masyarakat kurang berpartisipasi atau bahkan menjurus kepada Apatis maka pemerintah kekurangan dukungan dan wibawanya akan hancur. 

Dengan demikian definisi konsepsional pada Perbandingan Partisipasi Masyarakat Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah adalah suatu sikap yang menentukan adanya kepedulian terhadap budaya politik yang baik dengan mengikutsertakan masyarakat secara aktif dalam memaknai pembelajaran berpolitik dalam kondisi multiKultural dan memanfaatkannya dengan sikap pengendalian diri melalui pengembangan pengalaman multikulturalisme yang didapatkan masyarakat untuk bekal bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Pilkada, meskipun di dalam undang-undang 32 tahun 2004 yang terdapat dalam pasal 56-119 tidak memberikan definisi yang tegas tentang Pilkada, tetapi definisi Pilkada dapat kita sebutkan, bahwa Pilkada adalah singkatan dari Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Gubernur dan Wakilnya di tingkat provinsi dan Bupati/Walikota dan Wakilnya ditingkat kabupaten/kota), Pilkada dapat juga diartikan sebagai proses pergantian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang secara sah diakui hukum, serta momentum bagi rakyat untuk secara langsung menentukan Pasangan Kepala Daerah dan Wakil kepala Daerah sesuai dengan aspirasi/keinginan rakyat. 

Dalam hal ini Pilkada, meskipun salah satu produk negara yang berlandaskan hukum, bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka. Namun bukan berarti Pilkada merupakan parameter yang mutlak dalam rangka memberikan suatu penilaian apakah momentum pilkada benar-benar demokratis, disisi lain Pilkada merupakan demokrasi  yang prosedural dan belum menyentuh asas demokrasi yang substansial, yakni lahirnya kualitas kepemimpinan yang bersih, jujur, dan lain sebagainya. 

Keterlibatan masyarakat dalam momentum Pilkada Langsung menjadi landasan dasar bagi bangunan demokrasi. Bangunan demokrasi tidak akan kokoh manakala kualitas partisipasi masyarakat diabaikan. 

Karena itu, proses demokratisasi yang sejatinya menegakkan kedaulatan rakyat menjadi semu dan hanya menjadi ajang rekayasa bagi mesin-mesin politik tertentu. Format demokrasi pada aras lokal (Pilkada) meniscayakan adanya kadar dan derajat kualitas partisipasi masyarakat yang baik. Apabila demokrasi yang totalitas bermetamorfosis menjadi kongkrit dan nyata, atau semakin besar dan baik kualitas partisipasi masyarakat, maka kelangsungan demokrasi akan semakin baik pula. 

Demikian juga sebaliknya, semakin kecil dan rendahnya kualitas partisipasi masyarakat maka semakin rendah kadar dan kualitas demokrasi tersebut. Pentingnya pendidikan demokrasi memungkinkan setiap warga negara dapat belajar demokrasi melalui praktek kehidupan yang demokratis, dan untuk membangun tatanan dan praksis kehidupan demokrasi yang lebih baik di masa mendatang. 

Dalam sejarah perkembangan Peraturan Perundang-undangan Pemerintah Daerah sejak tahun 1945 mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan dimaksudkan untuk mencari bentuk yang dapat mencerminkan aspirasi masyarakat dan hingga sejak reformasi lahirlah UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan tidak lama kemudian disempurnakan lagi oleh UU No. 32 Tahun 2004. 

Dari dua perubahan terakhir mengalami perubahan yang cukup mendasar dibandingkan dengan Peraturan Perundang-undangan Pemerintahan Daerah sebelumnya. Mencermati berbagai Perubahan Perundang-undangan Pemerintahan yang pernah terjadi, jika belum sesuai dengan aspirasi masyarakat, maka yang perlu dipertanyakan kemudian mungkin sistem perundang-undangan ataukah memang mungkin dari tingkat kesadaran masyarakat sebagian belum memahaminya. 

Berikut disebutkan “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil” Pasal 56 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 yang kemudaian diatur pendukung peraturan perundangan lain seperti Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2005 & Peraturan Pemerintah No.17 Tahun 2005 tentang Pemilihan,Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Azrai
Ketua PPK Medan Amplas

Tidak ada komentar