MENGUKUR DOKTORAL JUBIR CAPRES & POLA KRITIK “OPOSISI PALSU”
Juson - Admin Channel Satrio Bushido Library -*
Saya sependapat bahwa kebijakan Jokowi harus dikritisi, dan salah satu tugas itu ada pada oposisi yang berkepentingan untuk berkuasa. Kritik oposisi sangat dibutuhkan banyak pihak sebagai komparasi rencana kebijakan antara petahana dan oposisi sebelum Pilpres.
Tapi persoalannya adalah, kritik oposisi tidak pernah berada pada wilayah substansi masalah. Salah satu yang masih segar dalam ingatan kita adalah klaim 191.000 KM jalan desa yang telah diselesaikan oleh pemerintahan Jokowi.
Dalam kritik yang disampaikan, justeru bukan persoalan yang bersifat substantif. Jubir oposisi malah mengambil opini dengan menaikkan statement "sensasional" seolah-olah jalan 191.000 KM itu tidak mungkin ada, dengan pernyataan “Dikerjakan kapan & pakai simsalabim apa ?” pernyataan ini jelas bertendesi mencoba menegasikan pekerjaan Jokowi selama ini, dan secara langsung menyatakan bahwa itu “bohong”.
Apakah pernyataan atau kritik yang disampaikan oleh jubir ini adalah substansi? tentu saja tidak, kenapa, karena Capres 02 dan Tim nya mengkritik pembangunan infrastruktur tidak pro rakyat, tetapi tidak membuat komparasi kebijakan infrastuktur yang mereka anggap lebih pro rakyat.
Baik, akan kita mulai sedikit mana seharusnya menjadi dasar atau titik tolak kritik oposisi.
Jika kualitas doktor ini memang benar-benar mau bertarung program dan substansi pola kebijakan Jokowi yang dianggap salah dan program oposisi yang benar.
Kita pakai acuan data jalan yang terbangun 191.000.KM selama 4 tahun Jokowi memimpin pemerintahan.
Dalam tweet'an Jubir 02, secara tidak langsung menganggap ini adalah volume pekerjaan yang besar dan tidak mungkin ada.
Jubir oposisi dengan gelar akademik S3 ini langsung bereaksi dengan kesimpulan yang dipublikasi lewat media sosial, tanpa menghitung & menggali data-data terlebih dahulu, layaknya tertib berfikir akademik.
Padahal jika dihitung secara matematis, semestinya diketahui dulu 191.000 KM sebarannya ada dimana saja atau berada di berapa desa.
Menurut data yang disampaikan oleh Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Indonesia Eko Putro Sandjojo, bahwa 191.000 KM itu berada di 74. 954 Desa.
Artinya jika dibagi rata-rata per desa hanya 2.5 KM selama 4 tahun atau dengan rata-rata hanya 0.63 KM per tahun untuk masing-masing desa. (finance.detik)
Apakah angka ini sangat besar, tentu saja tidak, dan tidak sebesar dugaan Jubir 02 seperti dalam tweetnya.
Jika oposisi benar-benar ingin membangun infrastruktur untuk rakyat seperti yang disampaikan dalam debat ke dua 17 April 2019 lalu, hasil akhir yang sangat kecil dengan angka 0.63 KM/Desa ini seharusnya dijadikan celah masuk mengkritisi kebijakan infrastruktur Jokowi jika ada kemauan dan kemampuan masuk pada subtasnsi progam.
Bagaimana cara mengkritiknya, saya coba berikan kisi-kisi argumen yang logis dan sederhana. Atau yang paling sederhana membuat komparasi biaya pembanguan jalan desa dengan biaya infrastruktur lainya. Salah satu yang paling mudah adalah biaya infrastruktur LRT yang mereka kritik pembangunan ugal-ugalan dalam setiap kampanye.
Jika saya oposisi, saya akan buat simulasi landasan kritik serta upaya menggaet pemilih di desa-desa dengan metode argumentatif seperti penjelasan di bawah berikut.
Pemerintah membangun infrastruktur jalan desa hanya 2.5 KM selama 4 tahun.
Apabila kita hitung dari sisi anggaran dengan menggunakan simulasi harga jalan beton adhimix dengan kualitas jalan paling rendah K-100 atau kelas I : biaya/1000 M2 = Rp 696,300,000. (Asumsi rumus: lihat web. retail.adhimix)
Jika diasumsikan 2.5 KM itu adalah 2.500 m2 maka total anggaran infrastuktur jalan desa = Rp 696,300,000. x 2. 500 m2 = 1,7 M (perkiraan lebih kurang)**
Sementara biaya infastruktur untuk 1 KM LRT di Palembang = USD. 37.000.000 (sumber : https://bit.ly/2Iqb21a) jika kita menggunakan kurs rata-rata Rp. 14.000 (Acuan Kurs BI) maka total biaya 1 KM LRT = 518 M. (perkiraan lebih kurang)**
Dari perbandingan biaya tersebut, oposisi akan lebih mudah “menodong” petahana dengan menyatakan “Pak Jokowi, Anda tidak sedang membangun infrastruktur pro rakyat untuk meningkatkan petani, atau untuk meningkatakan pembangunan desa, buktinya pembangunan infrastruktur jalan di desa sangat kecil dibanding LRT di Palembang”
Kenapa, karena anggaran 1 KM LRT bisa membangun sekitar 743 KM jalan desa. Dari sisi fungsi dan kuantitas pemakai, jalan desa jauh lebih banyak dari pada LRT karena titik sebaran jalan sepanjang 743 KM ini akan lebih luas.
Atau jauh lebih berpotensi mendorong kapital di desa bergerak cepat dan kompetitif dengan 743 KM jalan desa dari pada 1 KM LRT di Palembang yang hanya tertumpu pada satu titik”
Dengan argumentasi tersebut, opisisi bisa merubah arah kecenderungan pemilih, khususnya di desa-desa, jika mereka mampu menjabarkan anggaran yang diberikan petahana dengan anggaran yang akan mereka naikkan jika dipercaya untuk pemilu medatang. Atau sebaliknya, petahana akan merubah arah kebijakan kampanye dan politik anggaran mereka jika mau dipilih pada periode ke dua.
Meskipun data-data ini hanya bersifat simulatif, pengertiannya adalah ke arah ini semestinya oposisi melawan data-data atau menawarkan kebijakan yang lebih baik jika mereka memimpin bangsa ini 5 tahun yang akan datang.
Kita tau, dipasrikan akan ada argumentasi bantahan dari petahana jika substansi kebijakan anggaran infrastruktur ini dijadikan diskursus baru dalam tradisi kritik politik oposisi. Diamana kalau hal seperti ini yang dilakukan, akan melahirkan diskursus-diskursus baru yang akan memperkuat kualitas demokratisasi Indonesia.
Tetapi, pertanyaan sekaligus persoalannya adalah apakah oposisi mau atau sampai pikirannya ke sana ? Jawabannya seperti yang kita lihat, politisi tua maupun muda lebih senang dengan “orgasme” kata-kata, slogan, stigmatisasi, meributkan siapa yang bohong, siapa yang tidak bohong dari pada memperdalam substansi arah kebijakan yang mereka tawarkan.
Maka situasi politik saat ini, yang ada hanya kubu petahana dan kubu oposisi palsu. Kenapa, karena semua hanya berakhir dengan kata-kata, tanpa ada “pembeda program kebijakan” yang bisa dilihat dengan indikator-indikator yang jelas dan dapat diprediksi capaian-capaiannya kedepan.
Anda percaya pemilu tahun ini akan lebih baik dari sisi kulitas kampanye dan hasil akhirnya? Kalau saya tidak, tetapi saya menikmati momentum ini dengan kerja-kerja riang dan yang pasti akan memilih salah satu antara Kopi dan Teh yang sudah disediakan.
Kalau suka silahkan komentari, kalau tidak suka jangan marah-marah dan maki-maki, nanti Anda akan menambah dosa sendiri. Hehehe.
Selamat BerOutPosisi.!!
Jakarta 21 Februari 2019
* Admin Blog Klik Disini
Post a Comment