MENGENDALIKAN PERSEPSI PUBLIK

Kasus Jiwasraya yang ditangani Kejaksaan Agung, lembaga yang kini dipimpin oleh adik seorang Politisi PDIP telah memunculkan berita liar. Termasuk dugaan-dungaan keterlibatan banyak pihak dengan berbagai latar belakang.
Salah satu nama disebut-sebut di media adalah mantan stafsus Istana. Kasus lain yang sedang berkembang adalah Asabri, yang disuarakan oleh Menkopolhukam Mahfud MD.
Pemberitaan ini telah memunculkan persepsi negatif terhadap pemerintahan Jokowi di awal tahun 2020. Sentimen dan kampaye ini pula menjadi salah satu propaganda kelompok yang selama ini "tidak menerima" hasil Pemilu 2019. Sebagaimana terlihat dalam flyer demonstrasi pendukung Anies Baswedan di Balai Kota 14 Januari 2020 lalu.
Dalam kondisi kepercayaan publik "remuk berantakan" seperti saat ini, tentu saja Istana yang dipimpin oleh Presiden Jokowi dan merupakan kader PDIP memiliki kepentingan untuk mengendalikan persepsi publik yang terus negatif. Tujuan sederhananya adalah agar situasi dan kekacauan ini tidak terus-menerus "dikapitalisasi" oleh lawan politik yang bergerak agresif di kantong-kantong massa mereka, juga di media sosial.
Saat bersamaan, penanganan kasus anggota Komisioner KPU oleh KPK, atas dugaan penyuapan yang dilakukan oleh Harun Masiku mantan Caleg dari PDIP telah menimbulkan persepsi publik yang negatif pula terhadap KPU dan PDIP sebagai pemenang pemilu.
Upaya memulihkan (mengendalikan) kepercayaan publik dengan opini klarifikasi sepertinya terus dilakukan. Setidaknya dengan menuduh "media" menjadi salah satu pihak yang "mengkonstruksi" (framing-red) persepsi negatif tersebut.
Hal lainnya adalah memperkuat tuduhan kepada KPK bekerja ugal-ugalan atau bekerja tanpa prosedur hukum yang jelas. Melakukan safari Tim Hukum ke lembaga-lembaga negara seperti KPU, dan direncanakan ke lembaga-lembaga lain.
Menurut saya, upaya ini hanyalah "pansos" yang tidak perlu sama sekali. Seolah sedang memainkan "drama telenovela" memutar balik opini bahwa ini bukan soal suap, tapi pemerasan. Playing victim demikian sama sekali tidak masuk akal sekaligus menghina logika berfikir, sebab yang "dibilang" diperas malah kabur tidak jelas keberadaanya.
Upaya lainnya membangun opini guna memisahkan antara partai dan tindakan kader-kadernya dalam kaca mata publik. Cara demikian merupakah hal yang wajar dan sah-sah saja dilakukan oleh Partai Politik. Atau lembaga apapun untuk membersihkan diri dari persepsi publik dan praktek jahat yang selama ini mungkin tersembunyi.
Bagi saya upaya ini adalah hal yang sia-sia. Sia-sia karena hukum alamiahnya "sesuatu yang berupaya keras ditutupi dengan pengalihan opini akan semakin memperkuat kecurigaan"
Menjadi sia-sia pula sebab sama hal nya dengan bicara "telur-ayam", bagaimana mungkin kita bisa melepaskan kata ayam ketika bicara telur ayam, demikian dengan bicara Caleg maka otomatis akan teringat partainya.
Terlepas benar tidaknya tuduhan framing media tersebut, menurut saya Partai Politik harus sudah "berani mengkoreksi diri sendiri" dan bertindak realistis atas seluruh rangkaian proses hukum yang terjadi. Bukan malah "seolah-oleh" bertindak ofensif dengan mengeluarkan tuduhan dan narasi emosional yang justeru semakin membuat publik semakin curiga dan hilang kepercayaan.
Apa yang menjadi kesimpulan atas "babak belur" nya kepercayaan publik ke sudut Istana, ke PDIP dan KPK ? Jawaban saya adalah masing-masing lembaga ini harus "merebut" kendali opini publik dengan langkah-langkah kongkrit dan kerja-kerja terukur !
Pertanyaannya, apakah mungkin "mengedalikan" persepsi publik bisa dilakukan oleh ketiga lembaga tersebut secara bersamaan dalam kasus yang saling berkaitan ?
Atau harus ada salah satu tampil sebagai pemegang kendali postif dan sisanya terpuruk dalam persepsi negatif publik ?
Pertanyaan akhirnya, antara Istana, KPK & PDIP, mana yang paling anda percaya bisa mengendalikan kepercayaan publik saat ini ?
Pernyataan penutup, ternyata kasus ini membuat diam hampir seluruh elit partai politik. Mungkin mereka sedang menjalankan kesadaran kolektif bahwa "sesama "bandit berdasi" jangan saling buka aib.
Jakarta 16 Januari 2020
Juson Simbolon
ISS (Indonesia Santuy Society)

Tidak ada komentar