ANTARA PRANCIS & BEKASI
Sebenarnya saya tidak mau cerita soal ini, sebab saya sudah terbiasa hidup dengan asimilasi budaya dan keyakinan. Sudah menikmati hidup harmoni toleransi khususnya selama pandemi.
Dari rumah kami yang mungil, saya hari Minggu pergi ke Gereja dan hari Jumat saudara (keponakan) saya yang lain pergi ke Mesjid. Meski kadang ada yang selalu bertanya, “Om ke Gereja, Kok Ponakanya ke Mesjid ?” tapi saya selalu menjawab sambil tersenyum “biasa itu, tak usah heran kayak orang ga ber Tuhan.”
Yang ingin saya ceritakan begini. Saya tidak marah akan sikap banyak orang jika simbol agamanya di olok-olok, atau katakanlah dinistakan. Seperti apapun ekspresi kemarahannya, saya tidak ambil pusing, selagi tidak mengganggu hak hidup saya. Bukan menurut saya tidak penting, tapi sangat tidak penting untuk terlibat dan saling olok atas pemberitaan itu.
Justeru yang sangat amat penting adalah Pertama; ketika para pejabat negara, atau politisi tiba-tiba begitu marah dengan kejadian di luar negeri. Mengeluarkan statement agar menyeret negara dalam pusaran konflik sektarian di negara lain, hanya atas dasar mayoritas dan menjaga popularitas.
Bahkan ada yang terang-terangan para pejabat publik entah itu atas nama jabatannya, atau secara pribadinya mengeluarkan kecaman yang begitu marah dengan pemberitaan dari Prancis.
Di waktu yang sama, bahkan sudah berlangsung bertahuan-tahun di negaranya sendiri, seperti Bekasi misalnya, konflik intoleransi begitu serius. Jangankan mencari akar masalahnya, mengeluarkan pernyataan resmi saja atas beberapa persoalan konflik SARA tidak pernah. Terlihat absurd bukan?
Bagi mereka, seolah-olah Prancis lebih dekat dari Bekasi. Kalau tidak percaya coba kamu tanya atau kepoin aja sosmed Mbah Fud. Kamu pasti sampai pada kesimpulan, bahwa ternyata kata Toleransi, Bhinneka Tunggal Ika, Saya Pancasila..! dan selogan-selogan lainnya hanyalah gimik-gimik politik bagi para politikus.
Mohon maaf, jika tidak sopan, bagi saya sebenarnya
mereka para politikus seperti orang-orang kelainan otak, perkataan dan
tindakannya sering sekali saling bertolak belakang. 🙁
Ya sudahlah, menurut saya tidak perlu saling ejek. Di sisi lain yang agama A senang agama B di serang, di lain sisi pula, ada yang senang ketika agama B diserang A. Begitu terus-menerus bagai bandul sejarah.
Kalian begitu bersemangat saling serang atas klaim memuliakan Tuhan. Saya kawatir Tuhan marah lihat kalian, seolah sudah tidak punya agama. Sudahlah, jalankan aja kehidupan dimana kita berada, yang penting kita menyadari bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatu berbeda.
Atau jikapun ingin sekali terlihat peduli dengan masalah politik, lebih baik menyikapi masalah serius Kedua; yaitu ketika ada partai mengatasnamakan Demokrasi, seolah alergi dengan demonstrasi. Mempersoalkan kontribusi kaum muda dalam bernegara karena berdemonstrasi. Itu benar-benar aneh, sulit rasanya membayangkan seperti apa demokrasi tanpa ada demonstrasi.
Atau jangan-jangan ingin sekali membangun negara ini ala PKC di Tiongkok sehingga risih dengan demonstrasi, tapi tidak mau disebut berkiblat ke negara komunis. Atau bisa jadi karena lupa sejarah, lupa akan dirinya sendiri, bahwa hidup dan besar dari peran aksi-aksi jalanan (bahasa kerennya "Politikus Sandal Jepit") Atau jangan-jangan ini juga bagian dari mental umum para politikus. Selalu tidak linier antara mocong dan tindakan, begitupun sebaliknya.
Ah sudahlah, tak perlu lagi panjang lebar. Akhirnya
ayolah kita bersepakat, bahwa semua orang jika masuk dalam kubangan politik
pragmatisme, akan menjadi kenlap pada waktunya.
Eh..Selamat Solat Jumat Mas Aseng..!!
Jakarta, 30 Oktober 2020
Juson Simbolon
Post a Comment