𝗕𝗘𝗥𝗟𝗔𝗬𝗔𝗥 𝗗𝗜 𝗟𝗔𝗨𝗧 𝗗𝗔𝗡𝗚𝗞𝗔𝗟
Rintik-rintik hujan hadir kala jingga tak tampak di pojok barat. Kala matahari belum tenggelam, cuaca dingin menemani hingga pagi menyapa. Tak tampak rasa cemas di wajah para pekerja. Berlomba memburu waktu meski berlapis-kan plastik bening dan berwarna di sekujur tubuhnya.



Diantara sesak nya jalan raya, sekumpulan ciptaan Tuhan berdesakan melaju bersama. Aku melihatnya dari jauh, bagai air bening bergoyang pelan di dalam gelas kaca. Ratusan bahkan ribuan menuju arah yang sama. Tua-muda, pria-wanita tak tampak jelas meski kecepatan sangat pelan.
Tinggi rendah permukaan jalan, seolah membentuk gelombang laut gerakan pengguna jalanan. Bagai bias-bias air diterjang gelombang kecil angin sepoi-sepoi di laut tenang. Kemanakah mereka berakhir? Ya mereka menuju pintu-pintu kantor di Ibu Kota. Mengejar finger print jam kerja dan rutinitas hariannya.
Ini adalah berita, cerita deskripsi aktivitas kaum urban Ibu Kota. Ini adalah berita biasa, yang tidak mencemaskan siapa saja. Ini adalah budaya, menjalani hidup dengan apa adanya. Ini adalah kebahagiaan kita, sebab bekerja dan mencari nafkah tidak lagi dilarang atas nama Corona.
Namun, dari sebuah gedung warisan penjajahan Belanda. Tersiar kabar para pejabanya berbisnis di tengah bencana. Berbisnis atas nama pengendalian pandemi Corona, dengan bertopeng-kan aturan-aturan yang diciptakan olehnya. Pernyataan dan pembelaan bersahut-sahutan, bagai burung-burung bangkai di tepi Samudra. Meskipun nada-nadanya seolah se irama, namun tetap bau busuknya tercium juga. Apakah yang hendak kau cari tuan? Kadang tanya datang tiba-tiba. Belum cukupkah semua harta beda yang kau miliki hingga engkau mati ? Kadang melintas kala kesal menyapa hati.
Tapi apa daya, kita bagai berlayar di laut dangkal. Mengayuh sampan terjerat pasir. Bersuara kencang saja, tidaklah cukup bagi mereka. Sebab gendang telinganya sudah kebal di lapisi baja. Baja keserakahan dan kemunafikan yang luar bisa.
Sembari menunggu kita bergerombol kembali menuju awal kita bergegas. Baiklah nikmati segelas kopi dan berhitung akan masa depan yang tak tampak dengan jelas, dengan alat hitung seadanya. Meskipun hidup sangat kontras dengan kesenjangan yang tiada batas. Tapi selagi kita masih bernafas, tetaplah ikhtiar dengan rasa ikhlas. Kelak waktunya akan tiba, bahwa kaum tua di gedung warisan Belanda itu akan musnah di telan zaman.
Tetaplah mengayuh sampan’mu meski masih di laut dangkal. Kelak pasang akan datang menuntun'mu ke laut dalam. Jika sudah sampai di laut tenang, tetaplah menoleh ke tepian, sebab tidak ada yang sampai ke tengah jika tidak dimulai dari pinggiran. Atau jika-pun ada tiba-tiba sampai di tengah tanpa susah payah. Itu adalah meteor yang jatuh dari langit, yang kadang-kadang diam dan berakhir tertimbun di dasar laut bersama pasir yang dalam.
Yakin-lah dalam menjalani hidup, bahwa setiap ruang dan waktu punya materi-nya masing-masing. Tetaplah memelihara semangat. Jika semangat itu semakin menggelora, maka jangan gabung ke Partai Gelora !! Baiknya kita rencanakan Kopdar saja..!!
Jakarta, 04 November 2021
Regards,
Post a Comment