DEMOKRASI MISKIN ADAB

Kata demokrasi mungkin tidak asing lagi bagi kita. Dalam pengertian yang sangat dasar adalah berasal dari kata Demos dan Kratos atau lebih umum dikenal dalam bahasa Indonesia Rakyat Kuasa. Atau lazim juga disebut “rakyat berkuasa”

Demokrasi pertama muncul pada mazhab politik dan filsafat Yunani kuno di negara-kota Athena. Negara Athena dikenal memiliki ciri intelektual yang sangat terbuka. Maka Athena menjadi pusat perkembangan pemikiran dunia. Berbeda dengan Sparta, yang akrab dengan doktrinasi militerisme dalam sejarah perkembangan masyarakatnya.

Demokrasi pertama sekali pada 507-508 SM dibawah pimpinan Cleisthenes yang berpusat di Athena. Seiring perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan. Demokrasi menjadi semacam model politik yang paling tepat di seluruh bangsa-bangsa di dunia. Walaupun hingga kini, pemerintahan atau bentuk negara monarki masih tersisa di beberapa negara.

Jika kita kembali ke pengertian dasar Demokrasi, maka semestinya peran dan kekuatan utama dalam bernegara dalam sistem demokrasi adalah rakyat sendiri. Tetapi jika kita melihat perkembangan politik saat ini, demokrasi menjadi jargon yang secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan hanya jargon kelompok kecil elit negara menguasai suara rakyat.

Bagaimana mereka (elite politik) menguasai suara rakyat adalah dengan merusak sistem dan tata nilai dalam demokrasi itu sendiri. Mereka membeli dan membangun mentalitas “beli suara rakyat” dalam setiap momentum politik (politik uang). Situasi dan tingkah polah elit politik ini dalam jangka panjang menimbulkan mentalitas kita tanpa adab dalam berdemokrasi. Melahirkan mentalitas *“Wani Piro”* dalam setiap pesta demokrasi.

Contoh kerusakan besar dalam peradaban kita yang terjadi adalah, meski pada awalnya suku di Nusantara bersifat masyarakat kolektif, namun fakta-nya kontradiksi dengan kenyataan saat ini. Kemampuan bermusyawarah untuk mufakat dalam konteks kerja-kerja perubahan semakin menurun dan melemah terus secara konsisten. Justeru bangsa barat sebagai masyarakat individualis-tik berhasil membangun peradaban demokrasi di beberapa negara. 

Apalagi sejak memasuki era demokratisasi pasca reformasi 98, sampai kini Indonesia malah fase demokrasi Tuna Adab. Demokrasi tuna adab tersebut adalah sistem politik kita memproduksi monster politik uang di segala bidang. Politik rakyat “wani piro” tanpa adab ini terus merangsek masuk ke seluruh sektor kehidupan masyarakat, sampai sukses tembus ke dinding-dinding rumah ibadah, pemuka agama hingga anak-anak muda harapan bangsa kedepan. Demokrasi tuna adab ii menjadikan masyarakat bermental koruptif, politik dagang suara dimanapun kita berada.

Situasi ini tidak hanya terjadi di lingkaran elit politik. Tidak juga hanya di lingkaran partai dan lembaga-lembaga negara. Di lingkaran kelompok relawan sendiri sebagai antitesis dari politik partai juga beberapa individu sudah mulai terjangkit mental demokrasi tuna adab, yang diajarkan oleh elit politik selama ini.

Apakah situasi ini akan terjadi di Forum Relawan Kang Dedi Mulyadi? Ini pertanyaan kritis. Yang anda harus jawab jujur dalam diri sendiri. Saya tidak akan mengenalisir itu terjadi secara masif. Tetapi saya percaya, bahwa hanya dengan proses yang konsisten yang akan membuktikan mana Tahu, mana Tempe dan mana Oncom.

Pesan saya, tetaplah punya adab dalam berdemokrasi. Sebab kita ingin relawan itu bukan kumpulan penerima amplop sehabis acara. Tetapi mereka yang memilih berfikir secara mandiri, respek satu dengan yang lain. Serta paham bahwa pilihan adalah yang harus diperjuangkan. Bukan ditunggu bagai rembulan dalam siklus tata surya.

Terima kasih.

Jakarta, 14 Desember 2021

*Share by:*


*Juson Simbolon*

*ForKDM - Tim 11*

*Satrio Bushido Library*

#KDMcapres2024

#Capres2024

#KangDediMulyadi

#KDM

 

 

 


Tidak ada komentar