PURNAMA DI LEMBUR PAKUAN

Malam itu terasa sangat istimewa. Suasana yang amat kontras dengan kehidupan Jakarta. Jumat 22 Oktober 2021, kami hadir di Subang untuk memenuhi undangan acara Nyawang Bulan di Lembur Pakuan.

Seiring purnama bergerak perlahan di langit gelap. Cahaya lampu menerangi suasana malam area Pendopo terbuka. Ratusan warga berkumpul bersila, menghadap ke arah yang sama. Menikmati lagu dengan iringan musik tradisional dan tarian gadis-gadis kecil penuh pesona. Suasana benar-benar menyatu dengan alam, sebab di sisi depan membentang sawah mengirimkan tiupan angin dan binatang malam penghuni harmoni desa yang damai.

Susunan bambu dengan ornamen-ornamen unik nan artistik, berdiri tegak bagai tembok pertahanan. Ya, ini bambu tembok pertahanan. Pertahanan akan kearifan lokal dan budaya nusantara dari serangan budaya luar yang merangsek masuk tanpa jeda.

Sepanjang rangkaian acara berjalan, alunan musik bersama syair dilantunkan penuh makna, membuat siapa saja akan terbawa suasana. Malam itu aku duduk bersila persis di sebelah tokoh inspiratif dari tanah Pasundan, yang saya anggap bukan saja seorang figur publik. Tetapi seorang, Tokoh Inspiratif, Filsuf, Sastrawan, Budayawan, Seniman Humanis dan komunikator yang handal.

Sepanjang alunan nada menembus malam, saya memperhatikan mimik wajah tokoh inspiratif tersebut penuh penghayatan. Sesekali mengusap wajahnya, menghela nafas dan menundukkan kepala sembari ditopang kedua tangannya, kala nada-nada syahdu membius malam. Gerakan-gerakan itu, memperlihatkan penjiwaannya yang begitu dalam dari setiap lirik dan nada. Meski saya tidak terlalu mengerti arti bait demi bait liriknya, tapi rangkaian nadanya mampu menembus jiwa dan menangkap esensinya. 

Saat rembulan bergerak semakin meninggi, rangkaian acara terus mengikuti. Tiba saatnya kami mendengar rangkaian penjelasan dari setiap penggalan lirik lagu-lagu yang dikumandangkan malam itu. Budayawan sekaligus sastrawan autentik Tanah Pasundan itu menjelaskan makna filosofis dan historikal dari setiap lagu yang dikumandangkan. 

Di luar dugaan saya, ternyata lagu-lagu yang kami dengar malam itu merupakan karya cipta beliau dari berbagai latar belakang kondisi dan kontemplasi, yang melahirkan bait-demi bait penuh pesan-pesan kebudayaan, ketulusan dan pengharapan atas kehidupan.

Satu hal yang menjadi konkulasi saya malam itu, bahwa Sang inspirator itu memiliki kreativitas berkarya, keberpihakan dan kesungguhan dalam setiap kehidupan adalah berpusat dan terinspirasi dari Ibu yang melahirkannya. Ibu (emak) “centris” telah membentuknya menjadi seorang yang sangat kuat dalam bersikap, sederhana dalam berhitung dan visioner dalam berfikir.

Mungkin saja masih banyak hal yang belum saya pahami di waktu yang begitu singkat itu. Tapi jujur, rembulan di Lembur Pakuan telah membuatku jatuh hati, akan damai dan indahnya budaya nusantara. Akan damai-nya peradaban yang dibangun atas dasar-dasar cinta dan rasa kemanusiaan yang tinggi. 

Harapan’ku teruslah siklus purnama hadir menerangi malam, agar kami bisa bertemu kembali di Lembur Pakuan atas panggilan cinta dan rasa, dalam relasi sosial yang saling mengisi.

Jakarta 28 Oktober 2021
Juson Simbolon


Satrio Bushido Library


Tidak ada komentar