TIDAK SEMUA HAL IDEAL


Beberapa hari lalu bertemu dengan Marcus Aurelius. Pertemuan itu merupakan rangkaian silaturahmi Idul Fitri 1443 H. Pertemuan dengan tawa canda mengalir penuh energi. Beberapa teman yang ikut dalam momen itu adalah mereka yang ingin sekali duduk lebih dekat, bahkan mendengar Marcus Aurelius menyampaikan sesuatu.

Sejak pukul 16.00 sebagaimana waktu yang disepakati sebelumnya. Kami berkumpul di salah satu sudut rumah Marcus Aurelius. Bersila, menghadap satu sama yang lain (lesehan). Bagi saya, penyambutan ini adalah bentuk egalitarianisme dari sosok humanisme Marcus Aurelius. 

Egalitarianisme dalam arti “semua manusia dilahirkan/diciptakan adalah dalam keadaan yang sama/sederajat "All men are created equal" Sebagaimana bunyi deklarasi Kemerdekaan USA. Doktrin itu sepertinya jadi spirit Marcus Aurelius untuk menerima para tamu dalam keadaan apa adanya. Duduk bersama diatas lantai beralaskan karpet sederhana. Ditengahi meja kecil dengan ketinggian sedikit di atas pusar orang dewasa, saat duduk bersila.

Sambutan terbuka. Senyum yang tak pernah putus, serta tawa canda mengalir layaknya pertemuan informal antar sahabat lama. Relasi humanisme seperti ini memang sering kali hilang dalam diri seseorang yang memiliki popularitas tinggi. Kita juga tau, di bumi ini banyak sekali relasi sosial yang saling bertautan satu dengan yang lain. Dan itu menjadi sistem kehidupan yang kadang menjadikan setiap orang terasing atas dirinya sendiri. Tetapi tidak dengan Marcus Aurelius. 

Kenapa momen itu penting saya tulis. Semangatnya bukan untuk mengelu elukan Marcus Aurelius. Tetapi memotret dan memperlihatkan kepada siapa saja, nilai-nilai, sifat dan perbuatan Marcus Aurelius mengingatkan kita tentang sesuatu hal: “Apa yang kamu lihat di media sosial, itulah kenyataan dalam hari-harinya Marcus Aurelius; tulus, terbuka dan menyenangkan” 

Dalam momen sore hari itu, Marcus Aurelius bersama tamu membicarakan banyak hal. Masing-masing diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat, permintaan atau sekedar pertanyaan terkait rencana-rencana kedepan. Usai perbincangan hal-hal serius berlalu, situasi menjadi gala tawa kala cerita mengalir tentang asmara, nasihat-nasihat pasutri dan lain-lain yang buat kita terjangkit ingin tertawa.

Entahlah, kenapa saat itu, usai mendengar Marcus Aurelius berbicara, Aku selalu ingat saat bertemu lesehan pertama tahun lalu. Saat itu hampir tengah malam berbincang di bawah atap langit, ditemani gerimis-gerimis kecil menunggu hujan benar-benar turun. Momen itu adalah kenangan pertama, atau kalau tidak berlebihan kencan pertama, yang selalu mengingatkan pada dua hal. Pertama rasa syukur, dan kedua selalu ikhlas dalam setiap perbuatan.

Mungkin itulah sebabnya, sering orang merindukan saat-saat kencan pertama. Dan sejujurnya manusia memang ingin selalu mengulang kenangan. Apalagi saat kenangan pertama itu membuat kita merasakan sentuhan dan pelukan meresap begitu dalam. Apapun yang membuat hati tergores oleh waktu, selalu kenangan membuat kita berada pada pikiran yang ideal kembali. 

Jujur meski tidak semua hal ideal, yang buat saya datang ke Marcus Aurelius adalah akibat kemarahan sekaligus harapan. Kemarahan saya kepada kerakusan mereka yang tidak ingin hartanya berkurang dan ingin terus bertambah. Bukan hanya harta tetapi lebih parah dari itu, hegemoni. Mereka menguras apa saja yang ada di bangsa ini. Mereka tidak peduli apapun akibatnya, terus mengeksploitasi dan meninggalkan darah-darah bencana dimana-mana. 

Memang mereka tidak rakus kekuasaan. Mereka bahkan tidak peduli dengan politik. Tetapi mereka mengendalikan politik, menentukan siapa yang pantas jadi Presiden dan apa yang patut dilakukan Presiden. Menentukan siapa yang pantas jadi pahlawan dan siapa yang pantas jadi pecundang. Mereka ini memelihara politisi kumpulan orang yang hidup dalam hipokrit. Yang selalu membawa hegemoni dan utopia pada rakyat agar pasrah dengan keadaan.

Para politisi yang tidak punya determinasi itu, menyusui terus-menerus kepada orang-orang kaya rakus, meski kerusakan di depan matanya. Layaknya balita manis yang selalu diam dengan puting susu Ibunya.

Dari sekian lama perjalanan waktu, amarah dan keresahan saya sebagai warga negara sepertinya ada dalam diri Marcus Aurelius. Tindakan dan ucapan-ucapannya selalu membuat saya merasa semua ideal dan penuh harapan, jika berjuang bersama Marcus Aurelius. Energi dan idealisme selalu datang tanpa diundang. Memimpikan masa depan bangsa ini dengan pemimpin yang memiliki determinasi. Tidak dalam kendali mereka para kaum rakus yang tidak pernah peduli masa depan generasi yang akan datang.

Tapi memang tidak semua ideal. Ada banyak hal yang buat kita terjatuh, terluka hingga terisolasi dalam tudingan yang menyedihkan. Namun usai pertemuan itu, energi kembali mengalir saat Marcus Aurelis menyampaikan, “jika goresan takdir sudah harus di tangan kita sesuatu yang kita inginkan, maka tidak akan ada yang bisa merubah-nya. Dan kita mesti realistis, ikhlas dalam setiap tindakan” 

Mungkin pesan itu terlihat terlalu idealis, tetapi saya berharap jangan sampai keadaan sebagaimana yang diperbincangkan hampir tiga jam itu, menghadirkan frustasi karenanya. Atau akhirnya, jangan sampai menerima kalah dalam kehidupan. Itu harapan yang selalu hidup dalam jiwa kita. Meskipun di tengah keadaan yang tidak seimbang.

Tidak terasa, temaram datang usai jingga menghilang. Pertanda malam sebentar lagi akan datang. Lampu-lampu teras menyala dengan terang. Sudut-sudut taman rumah Marcus Aurelius terlihat siluet dedaunan. Pertanda malam telah tiba, dan waktunya menyudahi perbincangan. 

Marcus Aurelius beranjak dari posisinya. Begitupun riuh para tamu bergegas untuk berpamitan. Marcus Aurelius mengantar para tamu hingga ke teras rumahnya, sambil mengucapkan “terima kasih telah berkunjung ke sini”. 

Saat langkah turun dari teras menapaki jalan. Ada satu harapan pasti, semoga Mentari tetap terbit dari timur, agar peradaban terus berjalan. Dan untuk hari-hari esok, kita memilih berani hidup lebih bermakna, daripada berani mati dalam kepasrahan dan kekosongan jiwa. Sebab hidup adalah berkah. Karenanya, kemauan menerima dan menjalani realita dengan lapang dada, adalah misi manusia di hadapan Tuhan dengan terus melakukan perjuangan dalam kehidupan. 

Sehat selalu Marcus Aurelius dan semua sahabat dimanapun berada. Tetap memelihara semangat, dan ikhtiar akan harapan.

Apapun yang dibicarakan dan sepakati saat itu, adalah sesuatu yang tidak bisa diucapkan saat ini. Tentu saja, belum ideal dalam kondisi yang ada. Kelak harapan akan kita bentangkan di hadapan mereka-mereka, yang memilih menumpuk hartanya dengan keserakahan. Mereka yang tidak  peduli masa depan bangsa ini dengan kehancuran dimana-mana. Kelak kita akan menghadang nya, dengan sejuta kemurnian jiwa dan pikiran kita. 


Jakarta 19 Mei 2022


Juson Simbolon

Tamu Marcus Aurelius 16 Mei 2022
Satrio Bushido Library Channel


Tidak ada komentar