HIDUP TANPA IMAJINASI
Suatu ketika Alex dan Christy terlibat perbincangan di sore hari. Mereka merupakan masyarakat urban yang datang dari kota berbeda.
Perbincangan itu bermula saat Alex menemui Christy di sebuah cafe pojok Ibu Kota. Christy sedang duduk dengan wajah murung, gusar dan gelisah seolah menyesali keadaan masa lalunya.
Alex merupakan lelaki dengan usia terpaut lebih muda dari Christy. Tetapi kedewasaan berpikir, wawasan luas serta penguasaan informasi membuat Alex terlihat lebih dewasa.
Alex memang sering menghabiskan waktunya di Perpustakaan Umum. Di sela-sela akhir pekan, Alex juga banyak menghabiskan waktu naik gunung, atau sekedar camping di kaki gunung terdekat dari tempat tinggalnya.
Saat bepergian ke alam bebas, sudah menjadi kebiasaan Alex membekali diri dengan Buku-buku Filsafat, Sastra Realisme Sosial dan beberapa novel fiksi. Selain peralatan camping seperti tenda, alat masak dan matras, Alex juga membawa Hammock yang selalu digunakan saat waktu baca buku telah tiba.
Selain membaca buku-buku, Alex juga termasuk orang yang memiliki sifat terbuka. Dia tidak pernah mempersoalkan agama, suku atau warna kulit siapapun yang dia temui di setiap kesempatan. Alex selalu ramah dan komunikatif dengan siapa saja.
Bagi Alex bersahabat dengan banyak orang adalah caranya menikmati hidup. Hal itu membuat Alex memiliki falsafah dalam pergaulan sosial “Senang banyak teman, teman banyak senang”. Alex terbuka berdiskusi dengan siapa saja, dia selalu berusaha membuat orang lain senang.
Cara Alex membangun relasi sosial itulah menyebabkan Dia lebih dewasa dari Christy. Maka dalam perbincangan sore itu, sebenarnya Christy ingin mendengar apa saran Alex atas kegusaran Christy.
Sebelum perbincangan seputar masalah Christy dimulai, Alex bertanya kepada Christy. “Sudah lama Kak, Sorry saya terlambat!” “Oh belum, santai Lex, terima kasih sudah nemuin saya” ujar Cristy dengan muka datar.
Saat Alex dan Christy berbincang, di samping meja mereka sudah berdiri pramusaji dengan buku menu di tangannya. Sambil menebarkan senyum, pramusaji mempersilakan customers sore itu memesan apa yang mereka sukai. Tanpa panjang lebar, mereka memesan dua coffee latte dan sedikit kudapan.
Sambil menunggu pesanan tiba. Alex memulai perbincangan. “Kak, kenapa mukanya kayak Genjer diangkat dari air gitu?” tanya Alex dengan nada sedikit guyon.
“Begini Lex, kenapa saya tidak bisa move on dari situasi kelam di masa lalu ya?” jawab Christy dengan mata berkaca-kaca. Tampak mimik gelisah di wajah Cristy. Bulir-bulir air mata mulai menetes di pipinya.
“Contohnya apa?” tanya Alex penasaran.
Sembari tangan kanannya meraih tissue di atas meja. Christy menceritakan apa yang dia maksud situasi kelam di masa lalu.
“Hidup saya kok begini amat Lex, Bapak Ibu saya bercerai saat saya dan adik saya masih usia di bawah sepuluh tahun. Kami tumbuh dan diasuh oleh nenek saya. Seorang janda miskin di kampung, yang kadang uang untuk biaya hidup dari hutang.
“Kini saya merantau ke Ibu Kota, harus tinggal di rumah kost dengan pekerjaan SPG, yang hampir tiap hari dipandang rendah semua orang. Padahal saya harus lakukan semua pekerjaan ini demi adik dan nenek saya yang sudah uzur. Alex tahu sendiri, bagaimana mencukupkan gaji UMP untuk kamar kost, kebutuhan makan dan membiayai nenek saya yang sudah sakit-sakitan, serta melunasi hutang biaya hidup kami selama ini. Kadang saya berpikir ingin jadi pelacur saja. Bahkan terlintas ingin mengakhiri hidup saya”
Penjelasan panjang itu membuat Alex sedikit mengerutkan dahi. Tetapi Alex tetap saja orang yang mampu memberikan perspektif saat temannya mengalami masalah.
“Begini Kak, saya memang tidak mengalami apa yang kakak ceritakan. Tetapi apa yang membuat Kakak tidak bisa lepas dari bayang-bayang keadaan masa lalu, sebabnya ada dalam cara kakak mengkonstruksi pikiran kakak selama ini”
“Maksudnya gimana Lex?” tanya Christy dengan wajah sembab.
Sebelum menjelaskan apa maksud mengkonstruksi pikiran, Alex berujar “sebelum saya jelaskan, sebenarnya apa imajinasi kakak atas kehidupan saat ini?” “Yah ga ada, saya jalani aja kehidupan ini dari hari ke hari tanpa ada bayangan apapun di kemudian hari. Saya jalani hidup saya, pekerjaan saya, tanpa saya tau kearah mana saya melangkah” jawab Christy jujur.
“Baik Kak, coba saya jelaskan sifat dasar manusia. Apa yang membuat manusia hidup dalam ruang dan waktu berbeda, tetapi tetap mampu membangun imajinasi-nya. Ada dua faktor”
Pertama; Masa lalu. Masa lalu merupakan memori atau situasi yang telah kita lampaui. Tetapi sering kali memori itu kita pelihara dalam pikiran kita bukan sebagai motivasi. Justru membangun ketakutan dan kesimpulan bahwa masa yang akan datang adalah masa lalu yang kita lewati. Sehingga kita tidak mampu lagi membangun imajinasi seperti apa di masa depan.
Kedua; Harapan (hope). Harapan itu merupakan sesuatu yang kita percaya akan terjadi dari sekian banyak hal yang telah kita lakukan hari ini. Ingat ya..! yang kita lakukan. Tetapi harapan tidak akan pernah bisa terbentuk jika kita tidak punya imajinasi. Maka harapan dan imajinasi itu adalah energi yang akan terus menggerakkan hidup kita sebagai manusia.
“Nah saat ini, cara berfikir Kakak berada pada masa lalu. Hidup di masa saat ini dan tidak memiliki imajinasi masa depan. Artinya hidup di celah-celah antara masa lalu dan masa depan. Kerangka berpikir demikian menandakan kita sama sekali tidak ada upaya membangun masa depan, agar masa lalu tidak datang kembali dalam kehidupan kita”
Penjelasan Alex sepertinya membuka pikiran Christy. Suasana batinnya mulai tenang. Coffee latte dingin di hadapannya diseruput dalam-dalam. Setelah tegukan demi tegukan dia lewati, Bibir merah mungilnya mulai dia usap dengan menjulurkan ujung lidahnya keluar. Sambil berputar meliuk mengikuti posisi bibirnya. Gerakan itu pertanda sesuatu akan diucapkan.
“Sekarang saya baru sadar Lex! Selama ini saya jalani kehidupan tanpa tau tujuannya. Saya lakukan sesuatu tanpa mengerti kenapa saya harus melakukan itu. Saya ikuti aktivitas dalam kehidupan saya, hanya untuk menjawab hari ini.
Jadi saya benar-benar tidak memiliki bayangan (imajinasi) masa depan yang jadi harapan saya. Yang ada dalam pikiran saya hanya masa lalu yang kelam. Memvonis diri saya sendiri sebagai orang kecil, dari keluarga miskin yang tidak punya kemampuan membangun masa depan” terang Christy menyadari kekeliruan cara berpikir-nya selama ini.
“Apakah hanya saya orang seperti itu Lex?” sambung Christy dalam kalimat tanya. Dengan posisi tangan kanan menopang dagunya.
“Oh tidak Kak, banyak sekali orang hidup tanpa imajinasi. Mereka menjalani hari-hari dan aktivitas dalam komunitas-nya tanpa ada imajinasi. Sehingga mereka tidak mampu menggerakkan dirinya secara sadar untuk mewujudkan sebuah harapan. Bagaimana mau mewujudkan harapan, imajinasi saja tidak hidup dalam dirinya.
“Jadi Kakak jangan berkecil hati. Yang penting dari sekarang, coba bangun imajinasi kakak akan masa depan. Buatlah imajinasi itu menjadi harapan, dengan terus-menerus secara sadar melakukan yang terbaik untuk mewujudkannya” Christy menganggukkan kepala. Murung di wajahnya perlahan hilang. Semangatnya telah lahir atas pertemuan singkatnya dengan Alex sore itu.
Tidak terasa jingga mulai tampak di pojok barat, pertanda sore hari akan segera berganti. Suasana cafe yang tadinya ramai mendadak sepi. Para pengunjung pergi menjalani hidupnya masing-masing. Begitu-pun Alex dan Christy, mereka beranjak dan berjalan mendekat ke meja kasir. Sebelum mereka benar-benar berpisah kembali ke rumah masing-masing.
Jakarta 08 Desember 2022
Blogger & Vlogger Satrio Bushido Library
Post a Comment