DI ATAS BATAS PERISTIWA

Entah apa sebabnya. Bagaikan kering di gurun tandus. Hawa memancarkan panas, meningkatkan suhu tubuh dalam kegerahan.

Di sisi yang berbeda. kemarin malam, sekelompok anak muda datang menghampiri. Seperti tunas-tunas kecil tumbuh usai musim hujan berlalu. Senyum mereka mengembang. Tidak dampak lipatan-lipatan dan kerutan kecil di wajahnya.

Bagaikan peristiwa pagi hari. Ruangan dengan asap tebal itu berkicau bersahut-sahutan suara riang saling menimpali. Batas-batas peristiwa terjadi mendahului logika. Pernyataan dan harapan beradu salih berganti.


Suasana itu memunculkan harapan, bahwa masa depan akan tumbuh generasi baru yang lahir dari egalitarian kehidupan. Anak-anak muda itu memang masih belum berlari, tapi mereka akan kokoh berdiri. Jika mereka mau dan terus belajar dari kerasnya kehidupan..  


Entah apa sebabnya, manusia terlalu sering mengedepankan eksistensi dari pada esensi. Kaum tua berselisih dengan egonya masing-masing. Dalam situasi yang sama, mereka sebenarnya dan layaknya kepastian hidup manusia, hanya menunggu kematian. Sebagaimana janji sang pemilik kehidupan.


Tetapi, kenapa mereka terus memelihara eksistensi dari pada esensi? Kadang pertanyaan itu datang menghampiri. Melintasi otak kecil pemberian sang ilahi.


Tapi mengapa? Mengapa mereka seperti batu-batu kecil di aliran sungai? Mengapa mereka bagaikan ombak dan karang? Hingga kini jawaban itu tidak kutemukan. Atau bisa jadi semua ini kesalahan Jean Paul Sartre, si pelopor aliran filsafat eksistensialisme dari Perancis itu. Sebab Sartre mengatakan bahwa “eksistensi lebih dulu ada dibandingkan dengan esensi. Artinya, manusia akan memiliki esensi jika ia telah eksis terlebih dahulu dan esensi tersebut akan muncul ketika manusia mati”


Ini bukan saja renungan. Tapi lebih dari sekedar merenung, yakni memahami batas-batas peristiwa. Memahami harapan dan seperti apa idealisme dalam kehidupan yang akan datang. Kaum tua itu, pahamkah harapan anak muda yang sedang bangkit itu? atau apakah kaum tua itu sedang menikmati akhir sejarah yang tersisa dalam kehidupannya? Entah lah, entah. Tidak ada yang tau pasti. Memang yang pasti dalam hidup adalah kematian. Sebagai manusia, tinggal perlu pilihan yakni kematian seperti apa yang paling ideal kau harapkan.


Ketika tunas-tunas muda itu saya antarkan ke ujung lobby, memastikan kelompok terpelajar  itu berangkat menuju titik awal keberangkatan. Mereka menghadiahi senyum. Meskipun tidak mampu menampung semua hal yang mereka inginkan. Tapi saya bahagia mereka mau belajar dari keadaan.


Ketika ku palingkan wajah masuk ke dalam lobby. Hati berkecamuk, bercampur rasa sedih, apakah harapan mereka akan menjadi kenyataan. Apakah ada orang tulus dan ikhlas di luar sana untuk mendukung cita-cita mereka? Memperjuangkan identitas mereka, meraih apa yang menjadi impian masa depan mereka? 


Pertanyaan-pertanyaan itu terus membayangi. Bagaikan purnama tertutup awan. Meski cahayanya tampak, tapi lingkaran sumber cahayanya terlihat samar. Batas-batas peristiwa itu terus terjadi. Sekali lagi, entah mengapa orang tua terlalu egois akan eksistensinya. Tanpa pernah mereka melihat bahwa tunas-tunas muda itu menginginkan masa depan sebagai batas peristiwa yang sempurna. 


Untukmu kaum muda, teruslah tumbuh dalam segudang harapan. Melangkahlah dengan penuh keyakinan, sebab kenekatan hanyalah permulaan perubahan. Meskipun bintang tak bersinar terang, tapi jangan biarkan pelapukan pikiran manusia menghentikan langkahmu merubah dunia.


Biarkan di sekitarmu tumbuh keangkuhan dan pertikaian atas nama eksistensialisme. Biarkanlah, biarkan saja. Orang tua sering kali tidak mengerti mengapa usianya terus bertambah. Dan mereka harus sampai ke atas batas peristiwa, agar berhenti dari pikiran dan dunianya.


Lawa Mena Haulala..!


Jakarta 15 Juni 2023


Juson Simbolon

Blogger & Youtuber Fans KDM


Tidak ada komentar