𝗕𝗨𝗞𝗔𝗡 𝗔𝗡𝗢𝗠𝗔𝗟𝗜 𝗣𝗢𝗟𝗜𝗧𝗜𝗞

Pemilu 2024 sepertinya pemilu paling menarik sepanjang Pemilihan Presiden Indonesia. Tingkah laku para politisi menunjukkan sengitnya pertarungan dan perebutan kekuasaan kelompok politik masing-masing pasca Jokowi.

Pertarungan kepentingan politik masing-masing kubu dibungkus dengan jargon-jargon standar. Seperti demi Indonesia Maju, Indonesia Unggul dan Indonesia Adil Makmur.

Sirkus politik menunjukkan bahwa para elit politik berlomba mencari posisi kemana paling mungkin menang untuk selanjutnya memperoleh keuntungan materiil dari kekuasaan. Maka hal-hal yang mungkin bagi sebagian orang dianggap aneh pun terjadi.

Salah satu contoh dari banyak contoh, Budiman Sudjatmiko misalnya. Sebelum Ganjar Pranowo ditetapkan PDIP Calon Presiden, Budiman Sudjatmiko tidak terlihat bersuara untuk mendukung atau mengajukan di ruang publik siapa yang paling tepat menurutnya jadi pemimpin Indonesia pasca Jokowi.

Ketika partainya memutuskan Ganjar Pranowo, Budiman malah seolah melawan keputusan partainya dengan merapat ke Prabowo Subianto dan mengungkapkan ke publik bahwa Prabowo Subianto paling dibutuhkan bangsa ini kedepan.

Di kubu koalisi Anies Baswedan yang sejak awal diisi oleh PKS, Nasdem dan Demokrat. Tiba-tiba Demokrat keluar, karena keputusan Nasdem menetapkan Muhaimin Iskandar menjadi Cawapres Anies Baswedan.

Setelah keluar dari Koalisi Perubahan, AHY sebagai Ketua Umum Partai Demokrat justeru bergabung ke Koalisi Indonesia Maju, tetapi terkesan tidak memiliki posisi tawar apapun dalam koalisi.

Pernyataan-pernyataan AHY selama ini menyerang kinerja Jokowi dengan menyebut pemerintahan Jokowi hanya “Gunting Pita” atas keberhasilan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang merupakan Bapaknya sendiri.

Faktanya saat ini Partai Demokrat harus mendukung Gibran Rakabuming Raka yang merupakan anak Presiden Jokowi sebagai pasangan Wakil Presiden di Pilpres 2024. Coba anda bayangkan bagaimana situasi kebatinan para kader demokrat yang selama ini menganggap pidato-pidato AHY itu hebat.

Sirkus berikutnya. Partai Golkar sebagai partai tiga besar seolah tidak berdaya menghadapi situasi politik.

Partai ini sejak jauh-jauh hari lewat keputusan Rapimnas menetapkan Ketua Umum Airlangga Hartarto Capres yang akan diusung pada Pilpres mendatang. Jikapun tidak berpeluang jadi Calon Presiden, seharusnya dari sisi kekuatan mestinya Cawapres 2024 juga masih mungkin.

Tetapi keputusan partai itu seolah tidak ada nilainya ketika harus memilih anak Presiden Jokowi yang bukan kader Partai Golkar untuk diusung di Pilpres 2024.

Di lain sisi, posisi Ridwan Kamil sebagai kader Partai Golkar dengan pengalaman memimpin eksekutif yang cukup baik, datang dari provinsi dengan pemilih terbanyak se Indonesia, serta pengikut organik yang cukup luas, tidak memiliki nilai apapun untuk menentukan sikap Partai Golkar mengusung kadernya sendiri.

Hal yang paling baru. Keputusan anak Presiden Jokowi Gibran Rakabuming Raka yang merupakan kader PDIP menerima pinangan Prabowo Subianto menjadi calon Wakil Presiden, memperlihatkan kepada publik bahwa perpindahan dan mengabaikan keputusan partai masing-masing adalah bagian dari peluang mendapatkan dan menikmati kekuasaan itu sendiri.

Maka, kalau banyak kalangan menganggap perpindahan Gibran Rakabuming Raka ini hanya persoalan sakit hati, dendam dan sebagainya menurut saya itu pandangan yang sangat naif.

Sikap semua elit politik itu termasuk Gibran sendiri adalah bagian dari peluang merebut kekuasaan guna mengamankan kepentingan masing-masing. Artinya setiap langkah yang mereka pilih adalah murni atas peluang kepentingan masing-masing dalam kekuasaan. Bukan atas dasar jargon-jargon yang mereka labelkan. Apalagi hanya urusan perasaan.

Dari situasi ini, mestinya kita bisa melihat dan memahami bahwa di antara elit politik itu sendiri, dengan mengabaikan keputusan partai mereka masing-masing ternyata sebuah kewajaran. Hal demikian bukanlah anomali dalam politik.

Oleh karenanya, jika Anda berharap para elit politik seperti itu akan berkomitmen untuk memperjuangkan kepentingan rakyat ke depan, maka Anda telah terserang halusinasi lima tahunan. Pada putusan partainya sendiri aja tidak mampu setia, apalagi kepada anda yang bukan siapa-siapa dalam hidupnya.

Agar kita tidak terjebak pada halusinasi lima tahunan. Sebaiknya bagaimana elit politik mendahulukan kepentingannya masing-masing. Maka kita sebagai warga negara juga harus melihat apa yang menjadi kepentingan masing-masing.

Sekecil apapun yang menjadi kepentingan kalian dalam Pemilu 2024, raihlah itu di kubu mana dalam tiga pasangan calon bisa terwujud.

Fanatisme dan saling maki atau menyerang di media sosial tidak akan mendatangkan manfaat apapun, terutama bagi diri anda sendiri. Lain hal jika Anda digaji untuk melakukan semua itu. Anggap aja itu bagian dari pekerjaan profesional dalam membangun persepsi calon pemilih di media sosial.

Sebab usai Pemilu nanti, para elit yang berseberangan, bisa saja duduk sambil ngopi, cipika-cipiki dan berunding bagi-bagi kekuasaan. Saya kira, situasi demikian mungkin masih segar diingatan kita telah terjadi usai Pilpres 2019 lalu.

Jadi kalau ada orang atau kelompok mengajak Anda untuk dukung Paslon A, Paslon B atau Paslon C. Tidak ada masalah jika Anda lebih dulu bertanya “Apa kepentingan kita atas ajakan Anda dukung A, B atau C atau apa yang saya dapatkan jika dukung A, B atau C?”

Tidak usah sungkan atau malu mengajukan pertanyaan tersebut. Sebab sikap demikian hal wajar dan bukan anomali dalam politik. Atau pertanyaan demikian adalah sikap rasional dalam menentukan pilihan dalam Pilpres 2024 nanti.

Tidak usah terlalu jauh terpengaruh dan berkhayal dengan kata-kata “Indonesia Emas 2045, Indonesia Perak 2045, atau Indonesia Perunggu 2045, Indonesia Adil Makmur dan Merata maupun Indonesia Berlian 2050 dan sebagainya. Semua itu hanya dagangan politik saja.

Apa yang ada di depan mata, itulah yang nyata. Sebab dalam politik atau bernegara serta peradaban dalam kehidupan manusia tidak ada yang pasti, selain kematian.

Jakarta, 14 Oktober 2024
Vloger & Blogger Satrio Bushido Libray

Tidak ada komentar